PENGARUH PERKEMBANGAN SOSIAL TERHADAP PEMBELAJARAN EMOSIONAL
Oleh
: Kepler Pasaribu, SE.M.Pd. Widyaiswara Muda P4TK BBL Medan
Di
samping perkembangan moral, mengajarkan emosional pada anak juga dipengaruhi
oleh perkembangan sosialnya. Berkenaan dengan perkembangan social menurut
Hurlock (1978) bahwa keberadaan anak dalam kehidupan social dapat dilihat dari
2(dua) hal yaitu (1) anak yang memiliki sifat introvert adalah anak yang banyak memikirkan dirinya, dan (2) anak
yang bersifat ekstrovert yang seslalu
mengarahkan perhatiannya di luar dirinya. Dari kedua sifat ini, sifat pertama
bersifat individualistic, dan sifat kedua cenderung bersifat social. Manusia
yang memiliki sifat individual sering berusaha untuk mengejar posisi dirinya
menjadi terpenuhi segala keperluannya. Dalam kaitan dengan mengejar
terpenuhinya keperluan ini, berbagai cara dilakukan manusia, dan biasanya jika
upaya mengejar keterpenuhan kebutuhan
ini tidak dapat dikejar dengan baik, maka ditempuh dengan berbagai cara
tanpa memikirkan aspek hokum dan kepentingan orang lain. Hal ini merupakan
kecenderungan yang dilakukan oleh mereka yang memiliki isfat introvert. Dengan
demikian, sifat introvert seperti
disebutkan berpotensi untuk melakukan hal-hal yang dapat meresahkan masyarakat
berupa kenakalan remaja bagi anak muda, pencurian pemerkosaan, perampokan dan
lain-lain yang berbasis criminal bagi orang dewasa.
Perbuatan anak yang tidak baik,
dapat timbul karena kondisi dan proses social yang sama, yang menghasilkan
perilaku-perilaku social lainnya. Analisis terhadap kondisi dari proses
tersebut menghasilkan dua kesimpulan, yaitu bahwa hubungan antara variasi angka
kejahatan dengan variasi organisasi social tempat kejahatan tersebut terjadi.
Tingi-rendahnya angka kejahatan mempunyai hubungan erat dengan bentuk dari
organisasi social; artinya , kuantitas kejahatan di dalam masyarakat mempunyai
hubungan erat dengan kondisi yang bertentangan dengan kebudayaan, yang terdiri
atas proses beberapa aspek kehidupan manusia di dalam masyarakat, yaitu antara
lain (a) mobilitas social, (b) persaingan dan pertentangan kebudayaan, (c)
ideology politik, (d) ekonomi, (e) kuantitas penduduk, (f) agama, (g)
pendapatan dan pekerjaan. Semua factor ini disebutkan merupakan factor
eksterna. Ahli psikologi sosial menganalisis hal iniadalah tingkat analisis
interpersonal yang dikaitkan dengan pendekatan individu yang menjelaskan
mengapat kecenderungan seseorang melakukan kriminalitas.
Dalam upaya menentukan proses yang
menyebabkan seseorang dapat menjadi penjahat, nakal, tidak mau melakukan
hal-hal yang baik, tentu saja perlu menganalisis sampai seberapa jauh berbagai
aspek di atas berpengaruh terhadap diri manusia dalam hubungannya dengan
tindakan kejahatan. Dalam hal ini para ahli menkenkan pada beberapa bentuk
proses, misalnya imitasi, pelaksanaan sosial, asosiasi diferendial,
identifikasi, konsepsi tentang diri manusia, frustrasi, dan sebagainya sehingga
proses yang dapat menyebabkan seseorang menjadi penjahat.
Dengan melihat proses ini, maka dapat ditemukan beberapa teori
sosiologis mengenai perilaku jahat. Di antara teori tersebut adalah E.H.
Sutherland yang menyatakan bahwa seseorang berperilaku jahat dengan cara yang
sama dengan perilaku yang tidak jahat. Artinya, perilaku jahat dipelajari dalam
interaksi dengan orang lain, dan orang tersebut mendapat perilaku jahat sebagai
hasil interaksi yang dilakukannya dengan orang yang berperilaku dengan
kecenderungan untuk melawan norma-norma hokum yang ada.
Dalam teori motivasi dijelaskan
bahwa ada dua faktor yang mendorong kecenderungan seseorang melakukan kegiatan,
apakah itu kegiatan terpuji maupun kegiatan kejahata. Kedua faktor eksternal
dan faktor internal. Faktor eksternal yang mendorong munculnya kejahatan telah
diuraikan di atas, juga kejahatan seseorang dipengaruhi oleh faktor internal
yang bersumber dari diri individu, adalah sebagai beikut . Faktor-faktor yang
bersumber dari dalam diri individu (intern) adalah faktor yang bersumber dari
dalam diri individu (intern) ini mempunyai hubungan dengan timbulnya suatu
tindakan kejahatan moral. Faktor-faktor intern ini dapat dibagi menjadi dua
bagian, yakni faktor yang bersifat khusus dab faktor yang bersifat umum. Sifat
khusus dalam diri individu adalah sebagai berikut .
Sifat khusus ini adalah psikologi diri individu. Misalnya
kepribadian sering dapat menimbulkan kelakuan yang menyimpang, lebih-lebih
seseorang (individu) dapat dikategorikan tertekan perasaannya. Orang yang
tertekan perasaannya mempunyai kecenderungan untuk melakukan penyimpangan, dan
penyimpangan ini mungkin terhdap system sosial ataupun pola-pola kebudayaan.
Ada beberapa sifat khusus yang dapat menimbulkan kejahatan, antara lain :
a. Sakit
Jiwa
Orang
yang terkena sakit jiwa mempunyai kecenderungan untuk bersikap antisocial.
Sakit jiwa ini bisa disebabkan oleh adanya konflik mental yang berlebihan, atau
mungkin juga karena pernah melakukan perbuatan yang dirasakan sebagai dosa
besar dan berat sehingga ia menjadi sakit jiwa. Oleh karena seseorang sakit
jiwa, maka ia mempunyai kecenderungan untuk melakukan penyimpangan. Boleh jadi
penyimpangan itu berupa tindakan kejahatan dalam ketidaksadarannya. Terhdap
kejahatan yang dikakukan oleh orang yang terkena penyakit jiwa menurut hokum
tidak dikenakan sanksi, tetapi ia segera diamankan atau dirawat di rumah sakit
jiwa.
b. Perkembangan
emosional
Masalah
emosional erat hubungannya dengan masalah sosial yang dapat mendorong seseorang untuk berbuat
menyimpang. Hal ini terjadi karena diakui bahwa seseorang dalam perkembangan
kepribadiannya tidak dapat dilepaskan dengan perkembangan emosional.
Penyimpangan ini dapat mengaraj kepada suatu perbuatan kejahatan moral jika
orang tersebut tidak mampu untuk mencapai keseimbangan antara emosinya dengan
kehendak masyaraat. Berbagai teori perkembangan emosi dikemukakan para pakar
seperti teori Vaskuler oleh Zazone, Murphy, dan Inglehart (1989). Teori
freudianisme dan teori psikobiologi
menekankan pada perlunya peran ego dalam diri setiap individu. Jika ego
lemah, maka emosi akan mudah terpicu sehingga dapat melakukan hal-hal yang
melanggar batas. Apalagi emosional seseorang berkembang seiring dengan
perkembangan (a) usia, (b) kemampuan intelektual, (c) reaksi sosial terhadap
perilaku emosional. Apabila perkembangan emosional ini dikaitkan dengan
perampokan dan pemerasan, maka dengan melihat usia rata-rata pelaku, ada
kecenderungan para pelaku terebut memiliki ego yang lemah sehingga emosional
untuk melakukan kejahatan moral adalah desakan dari pola umum emosi yang
meliputi (1) rasa malu karena tidak ada pekerjaan yang memadai, (2) rasa takut
karena di desak harus membayar utang, (3) rasa marah karena selalu ditekan oleh
orang tua atau keluarga, (4) rasa cemburu karena melihat orang lain hidup lebih
baik dari dirinya, (5) rasa dukacita karena mengalami musibah, sementara tidak
ada jala lain yang ditempuh untuk mencari uang selain merampok atau mencuri dan
sejumlah perasaan emosi lainnya.
c. Perkembangan
mental
Penyebab
kejahatan moral dapat terjadi karena rendahnya mental. Rendahnya mental ini ada
hubungannya dengan daya inteligensia. Jika seseorang mempunyai inteligensia
yang tajam dan dapat menilai realitas maka semakin mudah ia untuk dapat
menyesuaikan diri dengan masyarakat. Sebaliknya, jika seseorang mempunyai daya
inteligensia rendah maka ia mempunyai kecenderungan rendah pula mentalnya sehingga
ia merasa tidak sanggup untuk berbuat sesuatu, takut salah, dan tidak mampu
menyesuaikan diri dengan masyarakat. Dalam keadaan demikian, orang itu akan
semakin jauh dari kehidupan masyarakat umum. Kemudian, semakin lama ia akan
semakin merasa tertekan, segala kehendaknya bersama-sama dengan orang lain,
dengan kehendak umum. Jika ketingalannya dirasakan sudah terlalu jauh dari
keadaan atau standar umum maka ia akan berusaha menebusnya dengan jalan dan
pikirannya sendiri yang biasanya berlebihan. Misalnya, melakukan usaha yang
ingin dicapai dengan tanpa sedikit jerih payah, tetapi menghasilkan banyak
melebihi dari kenyataan yang dimilikinya.
d. Anomi
Secara
psikologi, kepribadian manusia itu seifatnya dinamis, yang ditandai dengan adanya
kehendak, berorganisasi, berbudaya, dan sebagainya. Kehendak kepribadian
manusia ini berhubungan dengan keadaan yang diterima sewaktu-waktu dan tidak
luput dari keadaan anomi. Masa anomi ini biasanya ditandai dengan
ditingalkannya keadaan yang lama dan mulai menginjak dalam keadaan yang baru.
Sebagai ukuran, orang akan menjadi anomi (kebingungan): 1). Di kala seseorang
berhadapa dengan suatu kejadian atau perubahan yang belum pernah dialaminya, 2)
di kala ia berhadapan dengan situasi yang baru, ketika harus menyesuaikan diri
dengan cara-cara yang baru pula. Masa anomi akan terjadi jika seseorang telah
meninggalkan kebiasaan yang lama, sementara belum dikuasai atau belum
didapatnya sehingga orang akan kehilanagan pegangan. Pada saatu orang
kehilangan pegangan, maka di saat itu pula ia akan merasakan suatu krisis,
rawan, dan mudah sekali terpengaruh. Dengan perkataan lain, orang yang sedang
dalam keadaan anomi sedikit-banyak mempunyai kecenderungan untuk melakukan
tindak kejahatan. Oleh karena itu, anomi dapat dianggap sebagai salah satu
penyebab timbulnya kejahatan moral pada anak.
Berdasarkan hal tersebut seogianya mendidik anak dalam emosi perlu
memperhatikan aspek anomi ini.
Maka
analisis dalam hal ini adalah dikemukakan bagaimana proses emosi dan
implikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Secara siingkat dapat disajikan
beberapa butir penting mengenai proses emosi sebagai berikut :
a. Proses
emosi dapat dijelaskan dari proses fisiologis, yaitu bahwa terjadinya emosi
ditandai oleh adanya perubahan dalam diri/jeroan (visceral change). Perubahan dalam diri selama emosi dipengaruhi
oleh system syaraf autonomik,
kelenjar endokrin, dan sistem syaraf
pusat.Hypotalamus dan cerebral cortex memiliki peranan yang
penting dalam prose emosi. Hypotalamus
ini bekerja mengontrol system syaraf autonomik,
selanjutnya mengawali dan memulai terjadinya kondisi dasar dan emosi, cerebral
cortex bertindak sebagai penggerak perbuatan emosi yang keadaannya tidak
teratur tersebut.
b. Perubahan
dalam refleksi kulit gavanis-RKG ( galvanis skin reflec – GSR), sirkulasi
(termasuk di dalamnya perubahan tekanan darah, perubahan kimiawi dan
distribusinya) aktivitas “gastrointensinal” (panas badan),
respirasi/keringatan, berdirinya bulu kuduk, ukuran pupil mata, dan sebagainya.
Semuanya merupakan komponen-komponen yang menandai secara fisik terjadinya
emosi.
c. Kondisi
bangkitnya/bangunnya (arousal state)
emosi dan motivasi sangat mirip satu sama lain. Makin tinggi status bangkitnya,
cenderung diikuti oleh semakin tingginya intensitas emosi dan makin kuatnya
emosi. Meskipun demikian, kebangkitan fisiologis bisa menghasilkan tipe-tipe
emosi yang berbeda, tergantung lingkungan di mana kebangkitan itu terjadi.
Misalnya, kita sebenarnya mau marah, tetapi karena di samping kita ada “meruta
atau calon mertua”, bentuk marah kita jadi berbeda. Ini artinya proses cerebral
yang mempersepsi situasi dan menafsirkan sesnsasi selalu berbasis pada keadaan
lingkungan.
d. Takut
dan marah misalnya, merupakan dari proses fisiologikal yang berbeda. Pada saat
keadaan takut, andrenalin berada dalam aliran darah, respirasi meningkat,
reflex kulit galvanis (RKG) menurun, tekanan pada otot-otot mulai terjadi dalam
waktu yang singkat. Pada kejadian marah, nonandrenalin,
di bawa ke dalam aliran darah, diikuti oleh berkurangnya respirasi,
meningkatkan RKG, tekanan otot-otot bersifat menyeluruh, dan terjadi tekanan
darah yang meningkat.
DAFTAR
PUSTAKA
David
O. Sears, Jonathan L., Freedman, L., Anne Peplau, Sosial Anthropology Fifth Edition (McGraw Hill., 1981
Hurlock
Elizabeth, B., Child Development,
Sixth Edition, (McGraw-Hill,Inc., 1995)
Hurlock
Elizabeth, B., Perkembangan Anak,
Terjemahan Meitasari Tjandrasa dan Muslichah Zarkasih, Jakarta: Penerbit
Erlangga, 1995.
Jhon
W. Santrock, Life Span Development,
(Texas: Brown &BBenchmark, 1977)
Komentar