Senin, 21 Januari 2013

PENGARUH PERKEMBANGAN SOSIAL TERHADAP PEMBELAJARAN EMOSIONAL



 
Oleh : Kepler Pasaribu, SE.M.Pd.  Widyaiswara Muda P4TK BBL Medan



          Di samping perkembangan moral, mengajarkan emosional pada anak juga dipengaruhi oleh perkembangan sosialnya. Berkenaan dengan perkembangan social menurut Hurlock (1978) bahwa keberadaan anak dalam kehidupan social dapat dilihat dari 2(dua) hal yaitu (1) anak yang memiliki sifat introvert adalah anak yang banyak memikirkan dirinya, dan (2) anak yang bersifat ekstrovert yang seslalu mengarahkan perhatiannya di luar dirinya. Dari kedua sifat ini, sifat pertama bersifat individualistic, dan sifat kedua cenderung bersifat social. Manusia yang memiliki sifat individual sering berusaha untuk mengejar posisi dirinya menjadi terpenuhi segala keperluannya. Dalam kaitan dengan mengejar terpenuhinya keperluan ini, berbagai cara dilakukan manusia, dan biasanya jika upaya mengejar keterpenuhan kebutuhan  ini tidak dapat dikejar dengan baik, maka ditempuh dengan berbagai cara tanpa memikirkan aspek hokum dan kepentingan orang lain. Hal  ini merupakan kecenderungan yang dilakukan oleh mereka yang memiliki isfat introvert. Dengan demikian, sifat introvert seperti disebutkan berpotensi untuk melakukan hal-hal yang dapat meresahkan masyarakat berupa kenakalan remaja bagi anak muda, pencurian pemerkosaan, perampokan dan lain-lain yang berbasis criminal bagi orang dewasa.
            Perbuatan anak yang tidak baik, dapat timbul karena kondisi dan proses social yang sama, yang menghasilkan perilaku-perilaku social lainnya. Analisis terhadap kondisi dari proses tersebut menghasilkan dua kesimpulan, yaitu bahwa hubungan antara variasi angka kejahatan dengan variasi organisasi social tempat kejahatan tersebut terjadi. Tingi-rendahnya angka kejahatan mempunyai hubungan erat dengan bentuk dari organisasi social; artinya , kuantitas kejahatan di dalam masyarakat mempunyai hubungan erat dengan kondisi yang bertentangan dengan kebudayaan, yang terdiri atas proses beberapa aspek kehidupan manusia di dalam masyarakat, yaitu antara lain (a) mobilitas social, (b) persaingan dan pertentangan kebudayaan, (c) ideology politik, (d) ekonomi, (e) kuantitas penduduk, (f) agama, (g) pendapatan dan pekerjaan. Semua factor ini disebutkan merupakan factor eksterna. Ahli psikologi sosial menganalisis hal iniadalah tingkat analisis interpersonal yang dikaitkan dengan pendekatan individu yang menjelaskan mengapat kecenderungan seseorang melakukan kriminalitas.
            Dalam upaya menentukan proses yang menyebabkan seseorang dapat menjadi penjahat, nakal, tidak mau melakukan hal-hal yang baik, tentu saja perlu menganalisis sampai seberapa jauh berbagai aspek di atas berpengaruh terhadap diri manusia dalam hubungannya dengan tindakan kejahatan. Dalam hal ini para ahli menkenkan pada beberapa bentuk proses, misalnya imitasi, pelaksanaan sosial, asosiasi diferendial, identifikasi, konsepsi tentang diri manusia, frustrasi, dan sebagainya sehingga proses yang dapat menyebabkan seseorang menjadi penjahat.
            Dengan melihat proses ini,  maka dapat ditemukan beberapa teori sosiologis mengenai perilaku jahat. Di antara teori tersebut adalah E.H. Sutherland yang menyatakan bahwa seseorang berperilaku jahat dengan cara yang sama dengan perilaku yang tidak jahat. Artinya, perilaku jahat dipelajari dalam interaksi dengan orang lain, dan orang tersebut mendapat perilaku jahat sebagai hasil interaksi yang dilakukannya dengan orang yang berperilaku dengan kecenderungan untuk melawan norma-norma hokum yang ada.
            Dalam teori motivasi dijelaskan bahwa ada dua faktor yang mendorong kecenderungan seseorang melakukan kegiatan, apakah itu kegiatan terpuji maupun kegiatan kejahata. Kedua faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal yang mendorong munculnya kejahatan telah diuraikan di atas, juga kejahatan seseorang dipengaruhi oleh faktor internal yang bersumber dari diri individu, adalah sebagai beikut . Faktor-faktor yang bersumber dari dalam diri individu (intern) adalah faktor yang bersumber dari dalam diri individu (intern) ini mempunyai hubungan dengan timbulnya suatu tindakan kejahatan moral. Faktor-faktor intern ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yakni faktor yang bersifat khusus dab faktor yang bersifat umum. Sifat khusus dalam diri individu adalah sebagai berikut .
            Sifat khusus  ini adalah psikologi diri individu. Misalnya kepribadian sering dapat menimbulkan kelakuan yang menyimpang, lebih-lebih seseorang (individu) dapat dikategorikan tertekan perasaannya. Orang yang tertekan perasaannya mempunyai kecenderungan untuk melakukan penyimpangan, dan penyimpangan ini mungkin terhdap system sosial ataupun pola-pola kebudayaan. Ada beberapa sifat khusus yang dapat menimbulkan kejahatan, antara lain :
a.       Sakit Jiwa
Orang yang terkena sakit jiwa mempunyai kecenderungan untuk bersikap antisocial. Sakit jiwa ini bisa disebabkan oleh adanya konflik mental yang berlebihan, atau mungkin juga karena pernah melakukan perbuatan yang dirasakan sebagai dosa besar dan berat sehingga ia menjadi sakit jiwa. Oleh karena seseorang sakit jiwa, maka ia mempunyai kecenderungan untuk melakukan penyimpangan. Boleh jadi penyimpangan itu berupa tindakan kejahatan dalam ketidaksadarannya. Terhdap kejahatan yang dikakukan oleh orang yang terkena penyakit jiwa menurut hokum tidak dikenakan sanksi, tetapi ia segera diamankan atau dirawat di rumah sakit jiwa.
b.      Perkembangan emosional
Masalah emosional erat hubungannya dengan masalah sosial   yang dapat mendorong seseorang untuk berbuat menyimpang. Hal ini terjadi karena diakui bahwa seseorang dalam perkembangan kepribadiannya tidak dapat dilepaskan dengan perkembangan emosional. Penyimpangan ini dapat mengaraj kepada suatu perbuatan kejahatan moral jika orang tersebut tidak mampu untuk mencapai keseimbangan antara emosinya dengan kehendak masyaraat. Berbagai teori perkembangan emosi dikemukakan para pakar seperti teori Vaskuler oleh Zazone, Murphy, dan Inglehart (1989). Teori freudianisme dan teori psikobiologi  menekankan pada perlunya peran ego dalam diri setiap individu. Jika ego lemah, maka emosi akan mudah terpicu sehingga dapat melakukan hal-hal yang melanggar batas. Apalagi emosional seseorang berkembang seiring dengan perkembangan (a) usia, (b) kemampuan intelektual, (c) reaksi sosial terhadap perilaku emosional. Apabila perkembangan emosional ini dikaitkan dengan perampokan dan pemerasan, maka dengan melihat usia rata-rata pelaku, ada kecenderungan para pelaku terebut memiliki ego yang lemah sehingga emosional untuk melakukan kejahatan moral adalah desakan dari pola umum emosi yang meliputi (1) rasa malu karena tidak ada pekerjaan yang memadai, (2) rasa takut karena di desak harus membayar utang, (3) rasa marah karena selalu ditekan oleh orang tua atau keluarga, (4) rasa cemburu karena melihat orang lain hidup lebih baik dari dirinya, (5) rasa dukacita karena mengalami musibah, sementara tidak ada jala lain yang ditempuh untuk mencari uang selain merampok atau mencuri dan sejumlah perasaan emosi lainnya.
c.       Perkembangan mental
Penyebab kejahatan moral dapat terjadi karena rendahnya mental. Rendahnya mental ini ada hubungannya dengan daya inteligensia. Jika seseorang mempunyai inteligensia yang tajam dan dapat menilai realitas maka semakin mudah ia untuk dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat. Sebaliknya, jika seseorang mempunyai daya inteligensia rendah maka ia mempunyai kecenderungan rendah pula mentalnya sehingga ia merasa tidak sanggup untuk berbuat sesuatu, takut salah, dan tidak mampu menyesuaikan diri dengan masyarakat. Dalam keadaan demikian, orang itu akan semakin jauh dari kehidupan masyarakat umum. Kemudian, semakin lama ia akan semakin merasa tertekan, segala kehendaknya bersama-sama dengan orang lain, dengan kehendak umum. Jika ketingalannya dirasakan sudah terlalu jauh dari keadaan atau standar umum maka ia akan berusaha menebusnya dengan jalan dan pikirannya sendiri yang biasanya berlebihan. Misalnya, melakukan usaha yang ingin dicapai dengan tanpa sedikit jerih payah, tetapi menghasilkan banyak melebihi dari kenyataan yang dimilikinya.
d.      Anomi
Secara psikologi, kepribadian manusia itu seifatnya dinamis, yang ditandai dengan adanya kehendak, berorganisasi, berbudaya, dan sebagainya. Kehendak kepribadian manusia ini berhubungan dengan keadaan yang diterima sewaktu-waktu dan tidak luput dari keadaan anomi. Masa anomi ini biasanya ditandai dengan ditingalkannya keadaan yang lama dan mulai menginjak dalam keadaan yang baru. Sebagai ukuran, orang akan menjadi anomi (kebingungan): 1). Di kala seseorang berhadapa dengan suatu kejadian atau perubahan yang belum pernah dialaminya, 2) di kala ia berhadapan dengan situasi yang baru, ketika harus menyesuaikan diri dengan cara-cara yang baru pula. Masa anomi akan terjadi jika seseorang telah meninggalkan kebiasaan yang lama, sementara belum dikuasai atau belum didapatnya sehingga orang akan kehilanagan pegangan. Pada saatu orang kehilangan pegangan, maka di saat itu pula ia akan merasakan suatu krisis, rawan, dan mudah sekali terpengaruh. Dengan perkataan lain, orang yang sedang dalam keadaan anomi sedikit-banyak mempunyai kecenderungan untuk melakukan tindak kejahatan. Oleh karena itu, anomi dapat dianggap sebagai salah satu penyebab timbulnya kejahatan moral pada anak.  Berdasarkan hal tersebut seogianya mendidik anak dalam emosi perlu memperhatikan aspek anomi ini.
Maka analisis dalam hal  ini  adalah dikemukakan bagaimana proses emosi dan implikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Secara siingkat dapat disajikan beberapa butir penting mengenai proses emosi sebagai berikut :
a.       Proses emosi dapat dijelaskan dari proses fisiologis, yaitu bahwa terjadinya emosi ditandai oleh adanya perubahan dalam diri/jeroan (visceral change). Perubahan dalam diri selama emosi dipengaruhi oleh system syaraf autonomik, kelenjar endokrin, dan sistem syaraf pusat.Hypotalamus dan cerebral cortex memiliki peranan yang penting dalam prose emosi. Hypotalamus ini bekerja mengontrol system syaraf autonomik, selanjutnya mengawali dan memulai terjadinya kondisi dasar dan emosi, cerebral cortex bertindak sebagai penggerak perbuatan emosi yang keadaannya tidak teratur tersebut.
b.      Perubahan dalam refleksi kulit gavanis-RKG ( galvanis skin reflec – GSR), sirkulasi (termasuk di dalamnya perubahan tekanan darah, perubahan kimiawi dan distribusinya) aktivitas “gastrointensinal” (panas badan), respirasi/keringatan, berdirinya bulu kuduk, ukuran pupil mata, dan sebagainya. Semuanya merupakan komponen-komponen yang menandai secara fisik terjadinya emosi.
c.       Kondisi bangkitnya/bangunnya (arousal state) emosi dan motivasi sangat mirip satu sama lain. Makin tinggi status bangkitnya, cenderung diikuti oleh semakin tingginya intensitas emosi dan makin kuatnya emosi. Meskipun demikian, kebangkitan fisiologis bisa menghasilkan tipe-tipe emosi yang berbeda, tergantung lingkungan di mana kebangkitan itu terjadi. Misalnya, kita sebenarnya mau marah, tetapi karena di samping kita ada “meruta atau calon mertua”, bentuk marah kita jadi berbeda. Ini artinya proses cerebral yang mempersepsi situasi dan menafsirkan sesnsasi selalu berbasis pada keadaan lingkungan.
d.      Takut dan marah misalnya, merupakan dari proses fisiologikal yang berbeda. Pada saat keadaan takut, andrenalin berada dalam aliran darah, respirasi meningkat, reflex kulit galvanis (RKG) menurun, tekanan pada otot-otot mulai terjadi dalam waktu yang singkat. Pada kejadian marah, nonandrenalin, di bawa ke dalam aliran darah, diikuti oleh berkurangnya respirasi, meningkatkan RKG, tekanan otot-otot bersifat menyeluruh, dan terjadi tekanan darah yang meningkat.

DAFTAR PUSTAKA
David O. Sears, Jonathan L., Freedman, L., Anne Peplau, Sosial Anthropology Fifth Edition (McGraw Hill., 1981
Hurlock Elizabeth, B., Child Development, Sixth Edition, (McGraw-Hill,Inc., 1995)
Hurlock Elizabeth, B., Perkembangan Anak, Terjemahan Meitasari Tjandrasa dan Muslichah Zarkasih, Jakarta: Penerbit Erlangga, 1995.
Jhon W. Santrock, Life Span Development, (Texas: Brown &BBenchmark, 1977)

Tidak ada komentar: