MEMPERSIAPKAN TENAGA KERJA MASA DEPAN UNTUK REVOLUSI INDUSTRI KEEMPAT
OLEH
: SUNARDI
1.
Makna Revolusi Industri 4.0
Istilah Indonesia 4.0 pasti
sudah tidak asing lagi bagi kita. Awal mula dari istilah ini adalah terjadinya
revolusi industri di seluruh dunia, yang mana merupakan sebuah revolusi
industri keempat. Dapat dikatakan sebagai sebuah revolusi, karena perubahan
yang terjadi memberikan efek besar kepada ekosistem dunia dan tata cara
kehidupan. Revolusi industri 4.0 bahkan diyakini dapat meningkatkan
perekonomian dan kualitas kehidupan secara signifikan. Yuk, kita bahas secara
singkat mengenai sejarah dan apa itu Revolusi Industri 4.0.
Pertama-tama, mari kita bahas awal
mula dari Revolusi Industri 4.0 terlebih dahulu. Mulai dicetuskan pertama kali oleh
sekelompok perwakilan ahli berbagai bidang asal Jerman, pada tahun 2011 lalu di
acara Hannover Trade Fair. Dipaparkan bahwa industri saat ini telah
memasuki inovasi baru, dimana proses produksi mulai berubah pesat. Pemerintah
Jerman menganggap serius gagasan ini dan tidak lama menjadikan gagasan ini
sebuah gagasan resmi. Setelah resminya gagasan ini, pemerintah Jerman bahkan
membentuk kelompok khusus untuk membahas mengenai penerapan Industri 4.0 .
Pada 2015, Angella Markel mengenalkan gagasan Revolusi Industri 4.0 di acara
World Economic Forum (WEF). Jerman sendiri menggelintirkan modal sebesar
€200 juta untuk menyokong akademisi, pemerintah, dan pebisnis untuk melakukan
penelitian lintas akademis mengenai Revolusi Industri 4.0. Tidak hanya Jerman
yang melakukan penelitian serius mengenai Revolusi Industri 4.0, namun Amerika
Serikat juga menggerakkan Smart Manufacturing Leadership Coalition (SMLC),
sebuah organisasi nirlaba yang terdiri dari produsen, pemasok, perusahaan
teknologi, lembaga pemerintah, universitas dan laboratorium yang memiliki
tujuan untuk memajukan cara berpikir di balik Revolusi Industri 4.0.
Saat ini kita berada di zaman dimana
Revolusi Industri 4.0 baru saja dimulai. Lalu seperti apa sebenarnya Revolusi
Industri 4.0? Revolusi Industri 4.0 menerapkan konsep automatisasi yang
dilakukan oleh mesin tanpa memerlukan tenaga manusia dalam pengaplikasiannya.
Dimana hal tersebut merupakan hal vital yang dibutuhkan oleh para pelaku
industri demi efisiensi waktu, tenaga kerja, dan biaya. Penerapan Revolusi
Industri 4.0 di pabrik-pabrik saat ini juga dikenal dengan istilah Smart
Factory. Tidak hanya itu, saat ini pengambilan ataupun pertukaran data juga
dapat dilakukan on time saat dibutuhkan, melalui jaringan internet.
Sehingga proses produksi dan pembukuan yang berjalan di pabrik dapat
termotorisasi oleh pihak yang berkepentingan kapan saja dan dimana saja selama
terhubung dengan internet.
Bila kita melihat kembali Revolusi Industri 3.0 dimana merupakan titik awal
dari era digital revolution, yang memadukan inovasi di bidang Elektronik
dan Teknologi Informasi. Ada perdebatan apakah Revolusi Industri 4.0 cocok
disebut sebagai sebuah revolusi industri atau hanya sebuah perluasan atau
pengembangan dari Revolusi Industri 3.0. Namun nyatanya, perkembangan Revolusi
Industri 3.0 ke Revolusi Industri 4.0 sangat signifikan, hal baru yang
sebelumnya tidak pernah ada di era Revolusi Industri 3.0 mulai ditemukan. Para
ahli meyakini era ini merupkana era dari Revolusi Industri 4.0, dikarenakan
terdapat banyak inovasi baru di Industri 4.0, diantaranya Internet of Things
(IoT), Big Data, percetakan 3D, Artifical Intelligence (AI),
kendaraan tanpa pengemudi, rekayasa genetika, robot dan mesin pintar. Salah
satu hal terbesar didalam Revolusi Industri 4.0 adalah Internet of Things.
IoT (Internet of Things)
memiliki kemampuan dalam menyambungkan dan memudahkan proses komunikasi antara
mesin, perangkat, sensor, dan manusia melalui jaringan internet. Sebagai contoh
kecil, apabila sebelumnya di era Revolusi Industri 3.0 kita hanya dapat
mentransfer uang melalui ATM atau teller bank, saat ini kita dapat melakukan
transfer uang dimana saja dan kapan saja selama kita terhubung dengan jaringan
internet. Cukup dengan aplikasi yang ada di dalam gadget kita dan koneksi internet,
kita dapat mengontrol aktifitas keuangan kita dimanapun dan kapanpun.
Selain Internet of Things, ada juga istilah Big Data yang
berperan penting dalam Revolusi Industri 4.0. Big data adalah seluruh
informasi yang tersimpan di cloud computing. Analitik data besar dan
komputasi awan, akan membantu deteksi dini cacat dan kegagalan produksi,
sehingga memungkinkan pencegahan atau peningkatan produktivitas dan kualitas
suatu produk berdasarkan data yang terekam. Hal ini dapat terjadi karena adanya
analisis data besar dengan sistem 6c, yaitu connection, cyber,
content/context, community, dan customization.
Proses tersebut dapat memberikan wawasan yang berguna bagi manajemen pabrik.
Data diproses dengan alat canggih (analitik dan algoritma) untuk menghasilkan informasi
yang logik. Data yang diproses tersebut juga dapat membantu mempertimbangkan
adanya masalah yang terlihat dan tidak terlihat di pabrik industri. Algoritma
pembuatan informasi harus mampu mendeteksi masalah yang tidak terlihat
seperti degradasi mesin dan kehausan komponen.
Indonesia pun saat ini mulai menggarap konsep Revolusi Industri 4.0 secara
serius. Strategi Indonesia salah satunya, melalui Kementerian Perindustrian
mecoba membuat sebuah roadmap bertajuk Making Indonesia 4.0.
Sosialisasipun sudah disampaikan oleh Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto
di beberapa kesempatan. Bagaimana tanggapanmu mengenai Revolusi Industri 4.0?
Dan apa langkahmu dalam membantu pemerintah dalam menggalakkan Indonesia 4.0?
2.
Artifisial Intelegence (AI)
Artificial Intelligence (AI) atau
kecerdasan buatan
sudah menjadi sesuatu yang menjadi perhatian karena berpengaruh pada pekerjaan
manusia.
Namun sebenarnya apa itu AI? Secara singkatnya, mengacu pada simulasi
kecerdasan manusia dalam mesin yang diprogram untuk berpikir seperti manusia
dan meniru tindakannya.
Istilah ini juga dapat diterapkan pada mesin apa pun yang menunjukkan
sifat-sifat yang terkait dengan pikiran manusia. Di mana prosesnya termasuk
dengan pembelajaran (perolehan informasi dan aturan untuk menggunakan
informasi), penalaran (menggunakan aturan untuk mencapai perkiraan kesimpulan
yang pasti) dan koreksi diri, dilansir dari search enterprise AI dan Investopedia,
seperti dikutip Senin (13/5/2019).
Karakteristik ideal AI adalah kemampuannya untuk merasionalisasi dan mengambil
tindakan yang memiliki peluang terbaik untuk mencapai tujuan tertentu.
Mendalami
AI
Hal pertama yang biasanya orang
pikirkan ketika mendengar istilah AI adalah robot. Karena film dan novel
populer yang menceritakan mesin mirip manusia yang mendatangkan malapetaka di
Bumi.
Sedangkan Kecerdasan buatan didasarkan pada prinsip bahwa kecerdasan manusia
dapat didefinisikan sedemikian rupa sehingga mesin dapat dengan mudah menirunya
dan menjalankan tugas, dari yang paling sederhana hingga yang lebih kompleks.
Tujuan kecerdasan buatan meliputi pembelajaran, penalaran, dan persepsi.
Seiring kemajuan teknologi, tolok ukur sebelumnya yang mendefinisikan
kecerdasan buatan menjadi ketinggalan zaman. Sebagai contoh, mesin yang
menghitung fungsi dasar atau mengenali teks melalui pengenalan karakter yang
optimal tidak lagi dianggap sebagai kecerdasan buatan, karena fungsi ini
sekarang dianggap sebagai fungsi komputer yang melekat.
AI terus berkembang untuk menguntungkan banyak industri yang berbeda. Mesin
ditransfer menggunakan pendekatan lintas disiplin yang berbasis di matematika,
ilmu komputer, linguistik, psikologi, dan banyak lagi.
Kategori AI
AI memiliki 2 kategori yaitu lemah atau kuat. AI lemah (weak AI) yang juga
dikenal sebagai AI sempit adalah sistem AI yang dirancang dan dilatih untuk
tugas tertentu. Asisten pribadi virtual, seperti Apple Siri, adalah bentuk AI
yang lemah. Sedangkan AI kuat (strong AI), juga dikenal sebagai kecerdasan
buatan umum adalah sistem AI dengan kemampuan kognitif manusia secara umum.
Ketika disajikan dengan tugas khusus, sistem AI kuat dapat menemukan solusi
tanpa campur tangan manusia.
|
Jenis AI
Arend Hintze, asisten profesor biologi integratif dan ilmu komputer dan teknik
di Michigan State University, mengkategorikan AI menjadi 4 jenis, dari jenis
sistem AI yang ada saat ini hingga sistem yang hidup, yang belum ada.
Kategorinya adalah sebagai berikut:
Tipe 1: Mesin reaktif. Contohnya, Deep Blue, program catur IBM yang mengalahkan
Garry Kasparov pada 1990-an. Deep Blue dapat mengidentifikasi bagian-bagian di
papan catur dan membuat prediksi, tetapi ia tidak memiliki ingatan dan tidak
dapat menggunakan pengalaman masa lalu untuk memberi tahu langkah berikutnya.
Ini menganalisis kemungkinan langkah lawan dan dirinya sendiri serta memilih
langkah paling strategis. Deep Blue dan GoogleGOGO dirancang untuk tujuan yang
sempit dan tidak dapat dengan mudah diterapkan pada situasi lain.
Tipe 2: Memori terbatas. Sistem AI ini dapat menggunakan pengalaman masa lalu
untuk menginformasikan keputusan masa depan. Beberapa fungsi pengambilan
keputusan dalam mobil self-driving dirancang dengan cara ini. Pengamatan menginformasikan
tindakan yang terjadi di masa depan yang tidak terlalu jauh, seperti jalur
penggantian mobil. Pengamatan ini tidak disimpan secara permanen.
Tipe 3: Teori pikiran. Istilah psikologi ini mengacu pada pengertian bahwa
orang lain memiliki keyakinan, keinginan sendiri dan niat yang memengaruhi
keputusan yang mereka buat. AI jenis ini belum ada sampai saat ini.
Tipe 4: Kesadaran diri. Dalam kategori ini, sistem AI memiliki rasa diri,
memiliki kesadaran. Mesin dengan kesadaran diri memahami keadaan mereka saat
ini dan dapat menggunakan informasi untuk menyimpulkan apa yang orang lain
rasakan. AI jenis ini belum ada sampai saat ini.
Contoh Implementasi
Otomasi: Sistem atau proses yang berfungsi secara otomatis. Misalnya,
otomatisasi proses robotik (RPA) dapat diprogram untuk melakukan tugas
bervolume tinggi dan berulang yang biasanya dilakukan manusia. RPA berbeda dari
otomatisasi TI karena dapat beradaptasi dengan keadaan yang berubah.
Pembelajaran mesin: Ilmu membuat komputer bertindak tanpa pemrograman.
Visi mesin: Ilmu yang memungkinkan komputer untuk melihat. Teknologi ini
menangkap dan menganalisis informasi visual menggunakan konversi
analog-ke-digital kamera dan pemrosesan sinyal digital. Ini sering dibandingkan
dengan penglihatan manusia, tetapi penglihatan mesin tidak terikat oleh biologi
dan dapat diprogram untuk melihat melalui dinding. Ini digunakan dalam berbagai
aplikasi dari identifikasi tanda tangan hingga analisis citra medis. Visi
komputer, yang difokuskan pada pemrosesan gambar berbasis mesin, sering
dikaitkan dengan visi mesin.
Pemrosesan bahasa alami (NLP): Pemrosesan bahasa manusia oleh program komputer.
Salah satu yang lebih tua dan paling dikenal contoh NLP adalah deteksi spam,
yang melihat baris subjek dan teks email dan memutuskan apakah itu termasuk
sampah. Pendekatan saat ini untuk NLP didasarkan pada pembelajaran mesin. Tugas
NLP termasuk terjemahan teks, analisis sentimen dan pengenalan suara.
Robotika: Bidang teknik yang berfokus pada desain dan pembuatan robot. Robot sering
digunakan untuk melakukan tugas yang sulit bagi manusia untuk melakukan atau
melakukan secara konsisten. Mereka digunakan dalam jalur perakitan untuk
produksi mobil atau oleh NASA untuk memindahkan benda besar di luar angkasa.
Para peneliti juga menggunakan pembelajaran mesin untuk membangun robot yang
dapat berinteraksi dalam lingkungan sosial.
Mobil dengan pengemudi otomatis: Ini menggunakan kombinasi visi komputer,
pengenalan gambar dan pembelajaran mendalam untuk membangun keterampilan
otomatis dalam mengemudikan kendaraan sambil tetap berada di jalur tertentu dan
menghindari penghalang yang tidak terduga, seperti pejalan kaki.
3.
Pengaruh Revolusi Industri 4.0 Pada Bisnis
Teknologi revolusi industri 4.0 memberikan
dampak yang sangat signifikan terhadap sendi-sendi kehidupan sosial. Tak hanya
sampai di situ, dampak dari revolusi industri 4.0 juga berdampak kepada
ekonomi, sosial dan budaya yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Teknologi yang digunakan dalam
revolusi industri juga memberikan dampak yang besar bagi bisnis. Teknologi
tersebut bersifat disruptive yang mengubah secara drastis cara
perusahaan menjalankan bisnisnya.
Penggunaan teknologi industri (TI)
di Indonesia semakin berkembang pesat dalam organisasi. Di level negara,
Indonesia menargetkan menjadi ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara dengan
nilai pasar sebesar US$130 milyar di tahun 2020. International Data
Corporation (IDC) Indonesia melaporkan bahwa belanja Information and
Communication Technology (ICT) di Indonesia diperkirakan akan naik sebesar
16 persen dari Rp339 trilyun (US$9.6 milyar) di tahun 2017 menjadi Rp159
trilyun (US$11.9 milyar) ditahun 2020.
Laporan IDC tersebut juga
menunjukkan tren peningkatan investasi TI pada teknologi terkini seperti cloud,
data analytics, dan data centre management. Menurut laporan hasil
studi lembaga riset McKinsey, Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara
dengan tingkat optimisme tertinggi dalam menerapkan RI 4.0 (78%) setelah
Vietnam (79%), disusul negara lainnya Thailand (72%), Singapura (53%) Filipina
(52%) dan Malaysia (38%).
Lebih lanjut McKinsey melaporkan
industri 4.0 akan memberikan dampak signifikan kepada ekonomi di Indonesia,
yaitu pertambahan US$150 milyar pada tahun 2025 dimana sekitar 25 % dihasilkan
dari sektor manufaktur.
Namun, tantangan terbesar dari RI4.0
adalah implementasinya, dimana menurut McKinsey hanya 13% dari responden
penelitian melaporkan perusahaan mereka telah menerapkan teknologi RI 4.0.
Tantangan tersebut berasal dari strategi bisnis yang tidak jelas, integrase TI
yang tidak memadai, aspek keamanan (cybersecurity), dan kurangnya sumber
daya manusia yang kompeten.
Terkait dengan revolusi industri
4.0, Kementerian Perindustrian Republik Indonesia (Kemenperin) menyusun road
map “making Indonesia 4.0” dimana dengan teknologi industri 4.0 seperti advanced
robotic, 3D printing, wearable devices, internet of things,
dan artificial intelligence diharapkan dapat meningkatkan daya saing
industri Indonesia sehingga Indonesia menjadi 10 besar kekuatan ekonomi dunia
berdasarkan PDB di tahun 2030.
Making Indonesia 4.0 juga
menargetkan industri Indonesia dapat menggandakan rasio produktivitas terhadap
biaya dan mendorong ekspor netto menjadi 10% dari PDB di tahun 2030.
Untuk mencapai tujuan tersebut,
Indonesia berkomitmen menganggarkan 2 persen dari PDB untuk penelitian dan
pengembangan teknologi industri 4.0. Lebih lanjut, Kemenperin telah
menghasilkan beberapa kebijakan strategis dalam upaya implementasi peta jalan
tersebut, antara lain: insentif fiscal berupa super deductible tax untuk
perusahaan yang melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan inovasi dan
pendidikan/pelatihan.
Menghasilkan program e-smart IKM,
menunjuk Lighthouse of industri 4.0 untuk memilih perusahaan-perusahan
contoh penerapan TI 4.0, melaksanakan pelatihan untuk mencetak manajer dan
tenaga ahli transformasi industri 4.0 dan dalam proses perumusan industri 4.0,
yaitu sebuah indeks untuk mengukur tingkat kesiapan industri Indonesia
bertansformasi menuju industri 4.0
Istilah RI 4.0 pertama kali
dikemukakan oleh Professor Klaus Schwabb, seorang ekonom dari Jerman yang juga
pendiri World Economic Forum (WEF). Menurut Professor Schwabb, RI 4.0 secara
fundamental berbeda dengan revolusi industri versi sebelumnya.
Menurutnya, “the fourth
industrial revolution will affect the very essence of our human experience”.
Schwabb juga mengungkapkan ada empat dampak utama RI 4.0 kepada bisnis untuk
semua sektor industri. Keempat dampak tersebut, yaitu bergesernya ekspektasi
dari pelanggan, kualitas produk ditingkatkan dengan penggunaan data,
terbentuknya bentuk kerjasama yang baru, dan model operasional yang diubah
menjadi bentuk model digital yang baru.
Mckinsey memprediksi konsekuensi
utama dari industri 4.0 adalah terciptanya “pabrik masa depan” atau “factories
of the future” dimana proses produksi menyediakan aliran data tanpa batas
di seluruh siklus hidup produk, sistem produksi yang sepenuhnya dijalankan
secara otomatis yang didukung oleh analitik data yang canggih dan proses efisien
lainnya. Manfaat dari “pabrik masa depan” adalah meringankan pekerjaan
karyawan, meningkatkan kualitas dan memberikan penghematan biaya.
Akuntansi sebagai bagian dari
bisnis, tentunya juga terdampak oleh perkembangan teknologi industri 4.0. Menurut
American Accounting Association (AAA), akuntansi didefinisikan sebagai “the
process of identifying, measuring and communicating economic information to
permit informed judgments and decisions by users of the information.
Dengan kata lain, akuntansi dapat
diartikan sebagai proses mengidentifikasi, mengukur, dan mengkomunikasikan
informasi ekonomi yang digunakan oleh pengguna informasi untuk melakukan
penilaian dan membuat keputusan.
Peran akuntansi tidak hanya sebatas
menyediakan laporan keuangan yang handal, namun lebih luas yaitu berperan dalam
memastikan proses bisnis organisasi berjalan efektif dan efisien.
Melindungi aset perusahaan baik aset berwujud maupun tidak berwujud, dan
juga memastikan organisasi mematuhi aturan-aturan baik yang bersumber dari
dalam maupun dari luar.
Revolusi industri 4.0 memberikan
dampak nyata bagi proses bisnis akuntansi dan pengauditan teknologi RI 4.0,
seperti Internet of Things (IoT), big data/data analytics, business
process automation, blockchain/distributed ledger, artificial
intelligence dan cloud computing sudah mulai banyak dipakai oleh
organisasi dalam meningkatkan nilai dari proses bisnis akuntansi dan
pengauditan.
Penggunaan teknologi RI 4.0 ini akan
semakin banyak dipakai oleh organisasi baik dari sektor privat maupun publik.
Program studi akuntansi perlu menyadari dan mengetahui perkembangan teknologi
RI 4.0 tersebut dan menyesuaikan kurikulum, pengajaran, dan kesiapan dosen
dalam mengintegrasikan materi tersebut dalam program studi akuntansi. (*)
4.
Masa
Depan Pekerjaan
Presiden Joko Widodo meragukan bahwa
lapangan kerja untuk 800 juta orang akan hilang akibat otomatisasi dan
teknologi robot pada 2030. Dengan perencanaan dan antisipasi yang tepat,
Presiden Jokowi meyakini hilangnya jutaan pekerjaan tersebut bisa dihindari
(Katadata, 4/4). Apabila melihat komputer semakin hari semakin mampu
mengerjakan tugas-tugas manusia yang kompleks, apakah Presiden Jokowi terlalu
optimistis? Hasil penelitian McKinsey Global Institute menunjukkan sekitar 30
persen tugas dari dua pertiga jenis pekerjaan akan dapat digantikan oleh
teknologi seperti robot atau kecerdasan buatan. McKinsey memprediksi
otomatisasi tersebut akan mengakibatkan hilangnya 3-14 persen profesi pada
2030. Sekitar 75 hingga 375 juta tenaga kerja di dunia harus berganti bidang
mata pencaharian. Lompatan teknologi yang “mengancam” ketersediaan lapangan
kerja sebenarnya bukan permasalahan baru. Sebelum revolusi industri 4.0,
penemuan teknologi mesin uap memicu revolusi industri 1.0 pada abad ke-18,
manufaktur massal menandai revolusi industri 2.0 pada abad ke-19, dan revolusi
industri 3.0 atau revolusi digital terjadi pada abad ke-20. Setiap kali
teknologi muncul dan melonjak, permintaan tenaga kerja manual pun menyusut.
Masyarakat secara intuitif
mengkhawatirkan terjadinya pengangguran massal karena pekerjaan-pekerjaan
tertentu digantikan oleh teknologi komputer, robot dan mesin. Akan tetapi, data
World Bank menunjukkan bahwa persentase pengangguran global tidak pernah naik
secara signifikan sejak 1991 hingga kini, kecuali selama resesi 2008. Padahal,
penggunaan teknologi maupun jumlah angkatan kerja terus meningkat pada jangka
waktu tersebut.
Pekerjaan-pekerjaan yang dapat
diotomatisasi memang mati perlahan, tapi jenis-jenis profesi baru akan lahir.
Misalnya, lapangan kerja baru muncul di bidang yang berhubungan dengan
perancangan dan pengoperasian teknologi itu sendiri, seperti computer
programmer dan user interface designer. Transisi bidang lapangan kerja terlihat
pada data proporsi pekerja per sektor menurut World Bank. Dari grafik 2,
terlihat bahwa sebelum 1997, sektor agraris merupakan bidang mata pencaharian
terbesar penduduk dunia, diikuti oleh sektor jasa, dan kemudian industri.
Namun, persentase pekerja sektor agraris terus menurun dari 42 ke 29 persen,
sementara persentase pekerja sektor jasa terus meningkat dari 37 ke 49 persen.
Akhirnya pada 1998, sektor jasa menjadi bidang mata pencaharian mayoritas
penduduk dunia, sedangkan sektor agraris turun ke posisi kedua. Menariknya,
persentase pekerja sektor industri manufaktur yang biasanya paling terdampak
otomatisasi, justru cenderung stagnan pada kisaran 21 persen selama 25 tahun
terakhir.
Transisi Lapangan Kerja Berbeda
Antarnegara Tidak semua negara di dunia mengalami pola transisi lapangan kerja yang
sama. Transisi di negara-negara dengan pendapatan lebih rendah cenderung
tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain berpendapatan lebih tinggi.
Bahkan, di negara-negara berpendapatan paling rendah hingga kini belum
menunjukkan adanya transisi di sektor-sektor lapangan kerja.
Persentase pekerja di sektor agraris
(67 persen), jasa (25 persen), dan industri (8 persen) tidak berubah signifikan
selama 25 tahun terakhir. Absennya transisi lapangan kerja mengindikasikan
bahwa revolusi industri belum banyak menyentuh negara-negara dengan pendapatan
terendah. Sementara di negara-negara berpendapatan menengah-bawah, berdasarkan
data transisi lapangan kerja per sektor terlihat bahwa revolusi industri baru
saja menghampiri. Selama 25 tahun terakhir, persentase pekerja sektor agraris
terus menurun. Sementara persentase pekerja sektor jasa dan industri terus
meningkat. Pola proporsi pekerja di kedua sektor tersebut baru mulai
bertransformasi pada 2016, hampir 20 tahun setelah rata-rata global. Perbedaan
lain dengan tren dunia adalah peningkatan persentase pekerja sektor industri
manufaktur, meskipun landai. Adapun di negara-negara dengan pendapatan
menengah-atas, pergeseran pekerjaan dari agraris menjadi jasa sudah terjadi
sejak 2001. Persentase pekerja di sektor agraris pun terus menurun hingga
dilampaui sektor manufaktur pada 2016. Pola transisi lapangan kerja di
Indonesia terbilang berada di level pendapatan “menengah-menengah”. Transisi
lapangan kerja sudah terjadi pada tahun 2007 atau sembilan tahun lebih dulu
dibandingkan negara-negara berpendapatan menengah-bawah, meskipun terlambat
tujuh tahun dibandingkan negara-negara berpendapatan menengah-atas. Sebelum
2007, sektor agraris merajai proporsi pekerja di Indonesia. Setelah itu, sektor
jasa menggantikan sektor agraris sebagai bidang pekerjaan terbesar. Sementara,
tren pekerja sektor industri manufaktur meningkat tipis. Perkembangan Pekerja
Indonesia199520002005201020150102030405060 Pekerja Sektor Pertanian Pekerja
Sektor Manufaktur Pekerja Sektor Jasa Pengangguran Evolusi dan Masa Depan
Lapangan Kerja Peringkat lapangan kerja mayoritas di negara-negara
berpendapatan menengah langsung berubah dari agraris menjadi jasa. Artinya,
negara-negara tersebut tidak mengalami masa awal revolusi industri yang masih membutuhkan
banyak pekerja. Sementara di negara-negara dengan pendapatan tinggi, revolusi
industri telah mengubah perekonomian agraris menjadi industri manufaktur lebih
dari seabad yang lalu. Semakin canggih teknologi, permintaan pekerja industri
manufaktur pun berkurang, sehingga pekerja-pekerja di negara-negara
berpendapatan tinggi beralih ke sektor jasa. Selama lebih dari 25 tahun
terakhir, tidak terjadi perubahan peringkat pekerja per sektor di negara-negara
dengan pendapatan tinggi. Sebagian besar penduduk negara-negara tersebut
bekerja di sektor jasa (70 persen), diikuti oleh industri (26 persen) dan
agraris (4 persen). Persentase pekerja per sektor di negara-negara
berpendapatan tinggi lebih cenderung menunjukkan proses transisi lapangan kerja
yang terkontrol, bukan stagnansi seperti yang terjadi di negara-negara
berpendapatan rendah. Persentase pekerja sektor jasa di negara-negara tersebut
cenderung naik tipis, berkebalikan total dengan persentase pekerja sektor
agraris dan industri yang menurun perlahan. Tren dunia menunjukkan bahwa sektor
jasa akan menjadi bidang pekerjaan utama di masa depan. Ketika teknologi
membantu efisiensi sektor agrikultur dan manufaktur, harga barang pun semakin
terjangkau. Akibatnya, waktu dan tenaga manusia tidak habis untuk memenuhi
kebutuhan pokok. Manusia akan mulai mencari pemenuhan kebutuhan gaya hidup. Hal
tersebut akan mendorong perkembangan sektor perekonomian tersier seperti
pariwisata, film, seni masakan, fesyen, atau perawatan tubuh pun semakin
berkembang. Produk-produk jasa tersebut membutuhkan kreativitas dan kecerdasan
emosional manusia, sehingga sulit diotomatisasi atau diganti oleh komputer,
robot dan mesin.
5.
Kolaborasi
Industri Akademik dan Pemerintah
Pidato Presiden Joko “Jokowi” Widodo
pada tanggal 16 Agustus 2019, memunculkan sedikitnya 16 kata “SDM”, atau
sumberdaya manusia. Kata SDM paling banyak muncul dalam pidato tahunan. Ini
menegaskan tema Hari Ulang Tahun ke-74 Republik Indonesia, yaitu “SDM Unggul,
Indonesia Maju”.
Presiden mengingatkan, “Kita butuh
ilmu pengetahuan dan teknologi yang membuat kita bisa melompat dan mendahului
bangsa lain. Kita butuh terobosan-terobosan jalan pintas yang cerdik yang mudah
yang cepat. Kita butuh SDM unggul yang berhati Indonesia, berideologi
Pancasila.
Kita butuh inovasi-inovasi yang
distruptif yang membalik ketidakmungkinan menjadi peluang” dalam setiap bahasan
soal Revolusi Industri 4.0, yang juga menjadi tema besar pemerintahan di mana pun
termasuk Indonesia.
Dalam buku berjudul “The Fourth
Industrial Revolution”, Klaus Schwab, pendiri dan kepala eksekutif Forum
Ekonomi Dunia (WEF), menyebutkan bahwa revolusi industri ke-4 ini sangat
berbeda dibandingkan tiga revolusi industri sebelumnya, dalam hal skala, ruang
lingkup dan kompleksitasnya.
Revolusi Industri 4.0 memiliki
karakteristik berupa rentang penerapan teknologi baru yang memadukan dunia
fisik, digital dan biologi. Dampaknya ke semua area disiplin, dari ekonomi,
industri, pemerintahan, masyarakat bahkan menantang ide dasar tentang apa yang
dimaksud dengan manusia.
Saat ini kita sudah melihat peng
gunaan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence), dalam bentuk komputer
super, drones atau sering disebut pesawat tanpa awak, asisten maya, pengurutan
DNA, pengukur suhu pintar, sensor tubuh sampai micro chip yang kian kecil
ukurannya, sampai lebih kecil dari sebutir pasir.
Revolusinya tidak akan berhenti. Apa
yang selama ini kita lihat di film produksi Hollywood, ketika satu sistem bisa
mengendalikan proses produksi manufaktur secara global, sedang terjadi.
Di kantor pusat perusahaan teknologi
bisnis pemasaran daring seperti Alibaba, di Hangzhou, Tiongkok, jutaan
transaksi yang terjadi seketika di seluruh dunia, dikendalikan dari sistem
super komputer, termasuk pengirimannya.
Tahun 2017, raksasa teknologi
pemasaran lainnya, JD.Com, mengembangkan toko konsumen tanpa penjual dan pengiriman
barang lewat drone. Fasilitas itu telah diperkenalkan pula di Indonesia.
Beberapa tahun lalu Microsoft sudah memproduksi sistem kinetik yang membuat
jarak tak lagi jadi faktor.
Operasi rumit di Indonesia, bisa
dikendalikan dari rumah sakit di AS, misalnya. Kita bisa mengakses dan membaca dokumen
di perpustakaan kongres di AS tanpa perlu ke sana.
Untuk yang sifatnya mengerikan
adalah penggunaan senjata perang yang dikendalikan dari jarak jauh. Terobosan
teknologi secara cepat menggeser batas-batas antara pekerjaan yang dilakukan
oleh manusia dengan pekerjaan yang bisa dilakukan oleh mesin.
Data WEF menunjukkan bahwa pada
tahun 2018, rata-rata masih 71 persen pekerjaan di 12 sektor industri yang
dipilih, masih dikerjakan manusia. Tetapi, tahun 2020, jumlahnya akan menurun
ke 58 persen. Apakah masa depan bagi pekerja manusia begitu
muramnya?
Sebenarnya tidak juga. Di sini
tantangannya, karena sesungguhnya muncul pekerjaan masa depan yang membutuhkan
tidak hanya kecerdasan intelektual (IQ) saja, melainkan juga kecerdasan
emosional (EQ). Dibalik inovasi penemuan mesin-mesin itu, ada manusia yang
menciptakan dan menjalankannya.
Distrupsi teknologi yang dilakukan
Gojek, dengan penggunaan aplikasi, justru membuka peluang pekerjaan bagi jutaan
pemotor, dan ratusan ribu usaha kecil dan menengah kuliner. Itu baru dari satu
layanan.
Distrupsi teknologi disebabkan, dan
membuka pintu lahirnya kreativitas dan inovasi. Industri 4.0 membutuhkan SDM
yang mampu menjawab tantangan pekerjaan masa depan. Cepat atau lambat,
distrupsi menjalar ke dunia pendidikan.
Dunia pendidikan harus mampu
menghasilkan SDM yang tidak hanya kompeten dari sisi IQ, melainkan juga mumpuni
di sisi EQ. Kolaborasi, Komunitas dan Konektivitas yang menjadi tiga mantra
cara kerja di era digital saat ini, membutuhkan SDM dengan EQ, yang menentukan
kelancaran kerja sama, komunikasi yang krusial dalam proses bekerja.
Pendidikan 4.0 membutuhkan perubahan
paradigma. Berorientasi kepada kebutuhan industry (demand-led), ketim bang
pemasok lulusan (supply-led). Mengutamakan dasar kompetensi ketimbang hanya
bermodalkan pengetahuan.
Membutuhkan lulusan yang mampu
mengadopsi distrupsi teknologi dan kemampuan dasar. Pendidikan 4.0 juga harus
menciptakan format pendidikan jangka panjang, karena sifat teknologi yang
berubah sangat cepat, ketimbang pembelajaran jangka pendek.
Hasil riset pengajaran 2030 yang
dilakukan Organisasi Negara Ekonomi Berkembang (OECD) menyebutkan bahwa
pendidikan 4.0 haruslah fokus kepada tujuan inti dari prosesnya
(purposefulness) dan membumi sesuai dengan keadaan (mindfulness), yang semuanya
mengarah kepada pencapaian tingkat kebahagiaan dan kesejahteraan sebagaimana
dicantumkan dalam SDGs.
Membaca pidato Presiden lang sung
mengingatkan kita akan terobosan yang dilakukan platform ruangguru.com
yang dibangun oleh dua anak muda, Adamas Belva Syah Devara dan Iman
Usman.
Dalam waktu lima tahun, platform
belajar dalam jejaring internet itu sudah digunakan oleh jutaan siswa di
seluruh Indonesia. Belva dan Iman secara strategis menggunakan kemajuan
teknologi berbasis internet untuk menyediakan guru untuk les privat bagi siswa
yang ingin belajar secara daring.
Pasalnya, tidak semua siswa memiliki
akses ke sekolah dan guru yang berkualitas baik. Ruang guru kini memiliki 15
jutaan pengguna terdaftar dan menyediakan akses kepada lebih dari 300 ribu guru
privat.
Melalui ruangguru.com, Belva dan Iman melakukan terobosan
kombinasi peningkatan kualitas pendidikan dan teknologi. Sebuah proses
pendidikan dan pengembangan SDM di era 4.0. Apa yang dilakukan kedua anak
muda itu berkejaran dengan kebutuhan yang harus dipenuhi oleh perguruan tinggi,
akademi sam pai sekolah vokasi yang men jadi ujung produsen SDM yang akan
memasuki dunia kerja.
Data dari kementerian riset dan
pendidikan tinggi saat ini ada 519 perguruan tinggi negeri, 495 perguruan
tinggi swasta, 1.047 akademi negeri, 969 akademi swasta, 291.162 sekolah
politeknik, 2.553 sekolah tinggi negeri, 2.467 sekolah tinggi swasta. Ada 228
institut negeri, 163 institut swasta, 22 akademi komunitas negeri dan 16
akademi komunitas swasta.
Bagaimana kinerja perguruan tinggi
Indonesia di tingkat global? Squad, majalah asal Inggris yang tiap tahun me
rilis “University Impact Ranking”, yang didasarkan atas pengaruhnya kepada
masyarakat luas melalui inovasi dan penemuannya. Lewat Times Higher Education,
yang menggunakan 11 dari 17 indikator dalam Tujuan Pembangunan Global (SDGs)
oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, diperoleh peringkat global. Dari 450
universitas di 76 negara yang di ukur, ada tujuh berasal dari Indonesia.
Universitas Indonesia ada di
peringkat ke-80, posisi tertinggi dari Indonesia. Di susul Universitas
Diponegoro, Universitas Gadjah Mada, lalu Institut Pertanian Bogor, Institut
Teknologi Bandung, Universitas Padjadjaran dan Universitas Negeri
Yogyakarta.
Bahwa ada tujuh yang masuk peringkat
global, tentu kita apresiasi. Masalahnya, apakah cukup untuk melahirkan
kebutuhan SDM yang mampu menjawab tantangan Industri 4.0, itu masih pertanyaan
besar. Para unicorn, raksasa perusahaan teknologi seperti Gojek, Traveloka,
Bukalapak dalam berbagai kesempatan mengeluhkan minimnya SDM yang sesuai dengan
kualitas yang mereka harapkan untuk mengembangkan bisnis yang bergulirnya
begitu cepat.
Bisnis yang membutuhkan perspektif
teknologi dan wawasan global, selain memahami kebutuhan lokal. Bisnis yang kian
menjadikan data sebagai kunci pengelolaannya. Untuk Indonesia, tantangannya
lebih berat lagi karena SDM kita tersebar di ratusan pulau-pulau.
Kecepatan membangun infrastruktur
fisik harus dibarengi dengan kegesitan meluaskan jaringan internet dan
memastikan layanan listrik tidak padam agar internet dapat digunakan dengan
efektif. Sebuah survei yang dilakukan oleh Change.Org dan LIPI soal di Provinsi
Papua misalnya menunjukkan bahwa peningkatakan kualitas pendidikan menjadi
masalah terbanyak, 44 persen, yang dikeluhkan warga Papua.
Sesudah itu baru infrastruktur dan
transportasi (41 persen) dan eksploitasi sumber daya alam dan investasi (38
persen). Survei dilakukan tahun 2017 melibatkan responden daring sebanyak
27.298. Bergeser lebih dekat ke Ibu kota Jakarta, kualitas pendidikan di daerah
pinggirannya juga belum standar dengan sekolah ung gulan.
Kemampuan para guru untuk
menjalankan kurikulum yang berat terus menjadi ke luhan. Di kota besar dengan
akses internet lebih baik, guru bersaing dengan kecanggihan dan daya tarik
gawai yang bisa membetot perhatian siswa milenial dan gen Z, yang lebih suka
menghabiskan berjam-jam waktu berselancar di YouTube. Cara pengajaran yang lebih
menarik bagi generasi muda ini perlu diubah. Sesuai dengan pola konsumsi
informasi di era digital.
Tujuan dari Pendidikan 4.0 adalah
agar lulusannya memiliki peluang mendapatkan pekerjaan yang sesuai sekaligus
meningkatkan daya saing industri yang pada gilirannya meningkatkan daya saing
sebuah negara. Anak didik diharapkan lebih siap menghadapi karakteristik dunia
diwarnai ketidakpastian, perubahan konstan, kompleksitas dan ambiguitas.
Komentar