MEMPERSIAPKAN TENAGA KERJA MASA DEPAN UNTUK REVOLUSI INDUSTRI KEEMPAT

OLEH : SUNARDI

 

1.      Makna Revolusi Industri 4.0

Istilah  Indonesia 4.0 pasti sudah tidak asing lagi bagi kita. Awal mula dari istilah ini adalah terjadinya revolusi industri di seluruh dunia, yang mana merupakan sebuah revolusi industri keempat. Dapat dikatakan sebagai sebuah revolusi, karena perubahan yang terjadi memberikan efek besar kepada ekosistem dunia dan tata cara kehidupan. Revolusi industri 4.0 bahkan diyakini dapat meningkatkan perekonomian dan kualitas kehidupan secara signifikan. Yuk, kita bahas secara singkat mengenai sejarah dan apa itu Revolusi Industri 4.0.

Pertama-tama, mari kita bahas awal mula dari Revolusi Industri 4.0 terlebih dahulu. Mulai dicetuskan pertama kali oleh sekelompok perwakilan ahli berbagai bidang asal Jerman, pada tahun 2011 lalu di acara Hannover Trade Fair. Dipaparkan bahwa industri saat ini telah memasuki inovasi baru, dimana proses produksi mulai berubah pesat. Pemerintah Jerman menganggap serius gagasan ini dan tidak lama menjadikan gagasan ini sebuah gagasan resmi. Setelah resminya gagasan ini, pemerintah Jerman bahkan membentuk kelompok khusus untuk membahas mengenai penerapan Industri 4.0 .

Pada 2015, Angella Markel mengenalkan gagasan Revolusi Industri 4.0 di acara World Economic Forum (WEF). Jerman sendiri menggelintirkan modal sebesar €200 juta untuk menyokong akademisi, pemerintah, dan pebisnis untuk melakukan penelitian lintas akademis mengenai Revolusi Industri 4.0. Tidak hanya Jerman yang melakukan penelitian serius mengenai Revolusi Industri 4.0, namun Amerika Serikat juga menggerakkan Smart Manufacturing Leadership Coalition (SMLC), sebuah organisasi nirlaba yang terdiri dari produsen, pemasok, perusahaan teknologi, lembaga pemerintah, universitas dan laboratorium yang memiliki tujuan untuk memajukan cara berpikir di balik Revolusi Industri 4.0.

Saat ini kita berada di zaman dimana Revolusi Industri 4.0 baru saja dimulai. Lalu seperti apa sebenarnya Revolusi Industri 4.0? Revolusi Industri 4.0 menerapkan konsep automatisasi yang dilakukan oleh mesin tanpa memerlukan tenaga manusia dalam pengaplikasiannya. Dimana hal tersebut merupakan hal vital yang dibutuhkan oleh para pelaku industri demi efisiensi waktu, tenaga kerja, dan biaya. Penerapan Revolusi Industri 4.0 di pabrik-pabrik saat ini juga dikenal dengan istilah Smart Factory. Tidak hanya itu, saat ini pengambilan ataupun pertukaran data juga dapat dilakukan on time saat dibutuhkan, melalui jaringan internet. Sehingga proses produksi dan pembukuan yang berjalan di pabrik dapat termotorisasi oleh pihak yang berkepentingan kapan saja dan dimana saja selama terhubung dengan internet.

Bila kita melihat kembali Revolusi Industri 3.0 dimana merupakan titik awal dari era digital revolution, yang memadukan inovasi di bidang Elektronik dan Teknologi Informasi. Ada perdebatan apakah Revolusi Industri 4.0 cocok disebut sebagai sebuah revolusi industri atau hanya sebuah perluasan atau pengembangan dari Revolusi Industri 3.0. Namun nyatanya, perkembangan Revolusi Industri 3.0 ke Revolusi Industri  4.0 sangat signifikan, hal baru yang sebelumnya tidak pernah ada di era Revolusi Industri 3.0 mulai ditemukan. Para ahli meyakini era ini merupkana era dari Revolusi Industri 4.0, dikarenakan terdapat banyak inovasi baru di Industri 4.0, diantaranya Internet of Things (IoT), Big Data, percetakan 3D, Artifical Intelligence (AI), kendaraan tanpa pengemudi, rekayasa genetika, robot dan mesin pintar. Salah satu hal terbesar didalam Revolusi Industri 4.0 adalah Internet of Things.

IoT (Internet of Things) memiliki kemampuan dalam menyambungkan dan memudahkan proses komunikasi antara mesin, perangkat, sensor, dan manusia melalui jaringan internet. Sebagai contoh kecil, apabila sebelumnya di era Revolusi Industri 3.0 kita hanya dapat mentransfer uang melalui ATM atau teller bank, saat ini kita dapat melakukan transfer uang dimana saja dan kapan saja selama kita terhubung dengan jaringan internet. Cukup dengan aplikasi yang ada di dalam gadget kita dan koneksi internet, kita dapat mengontrol aktifitas keuangan kita dimanapun dan kapanpun.

Selain Internet of Things, ada juga istilah Big Data yang berperan penting dalam Revolusi Industri 4.0. Big data adalah seluruh informasi yang tersimpan di cloud computing. Analitik data besar dan komputasi awan, akan membantu deteksi dini cacat dan kegagalan produksi, sehingga memungkinkan pencegahan atau peningkatan produktivitas dan kualitas suatu produk berdasarkan data yang terekam. Hal ini dapat terjadi karena adanya analisis data besar  dengan sistem 6c, yaitu connection, cyber, content/context, community, dan customization.

Proses tersebut dapat memberikan wawasan yang berguna bagi manajemen pabrik. Data diproses dengan alat canggih (analitik dan algoritma) untuk menghasilkan informasi yang logik. Data yang diproses tersebut juga dapat membantu mempertimbangkan adanya masalah yang terlihat dan tidak terlihat di pabrik industri. Algoritma pembuatan informasi harus mampu mendeteksi  masalah yang tidak terlihat seperti degradasi mesin dan kehausan komponen.

Indonesia pun saat ini mulai menggarap konsep Revolusi Industri 4.0 secara serius. Strategi Indonesia salah satunya, melalui Kementerian Perindustrian mecoba membuat sebuah roadmap bertajuk Making Indonesia 4.0. Sosialisasipun sudah disampaikan oleh Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto di beberapa kesempatan. Bagaimana tanggapanmu mengenai Revolusi Industri 4.0? Dan apa langkahmu dalam membantu pemerintah dalam menggalakkan Indonesia 4.0?

 

2.      Artifisial Intelegence (AI)

 

Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan sudah menjadi sesuatu yang menjadi perhatian karena berpengaruh pada pekerjaan manusia.

Namun sebenarnya apa itu AI? Secara singkatnya, mengacu pada simulasi kecerdasan manusia dalam mesin yang diprogram untuk berpikir seperti manusia dan meniru tindakannya.

Istilah ini juga dapat diterapkan pada mesin apa pun yang menunjukkan sifat-sifat yang terkait dengan pikiran manusia. Di mana prosesnya termasuk dengan pembelajaran (perolehan informasi dan aturan untuk menggunakan informasi), penalaran (menggunakan aturan untuk mencapai perkiraan kesimpulan yang pasti) dan koreksi diri, dilansir dari search enterprise AI dan Investopedia, seperti dikutip Senin (13/5/2019). 


Karakteristik ideal AI adalah kemampuannya untuk merasionalisasi dan mengambil tindakan yang memiliki peluang terbaik untuk mencapai tujuan tertentu.

Mendalami AI

Hal pertama yang biasanya orang pikirkan ketika mendengar istilah AI adalah robot. Karena film dan novel populer yang menceritakan mesin mirip manusia yang mendatangkan malapetaka di Bumi.

Sedangkan Kecerdasan buatan didasarkan pada prinsip bahwa kecerdasan manusia dapat didefinisikan sedemikian rupa sehingga mesin dapat dengan mudah menirunya dan menjalankan tugas, dari yang paling sederhana hingga yang lebih kompleks. Tujuan kecerdasan buatan meliputi pembelajaran, penalaran, dan persepsi.

Seiring kemajuan teknologi, tolok ukur sebelumnya yang mendefinisikan kecerdasan buatan menjadi ketinggalan zaman. Sebagai contoh, mesin yang menghitung fungsi dasar atau mengenali teks melalui pengenalan karakter yang optimal tidak lagi dianggap sebagai kecerdasan buatan, karena fungsi ini sekarang dianggap sebagai fungsi komputer yang melekat.

AI terus berkembang untuk menguntungkan banyak industri yang berbeda. Mesin ditransfer menggunakan pendekatan lintas disiplin yang berbasis di matematika, ilmu komputer, linguistik, psikologi, dan banyak lagi.

Kategori AI

AI memiliki 2 kategori yaitu lemah atau kuat. AI lemah (weak AI) yang juga dikenal sebagai AI sempit adalah sistem AI yang dirancang dan dilatih untuk tugas tertentu. Asisten pribadi virtual, seperti Apple Siri, adalah bentuk AI yang lemah. Sedangkan AI kuat (strong AI), juga dikenal sebagai kecerdasan buatan umum adalah sistem AI dengan kemampuan kognitif manusia secara umum. Ketika disajikan dengan tugas khusus, sistem AI kuat dapat menemukan solusi tanpa campur tangan manusia.

 


Jenis AI

Arend Hintze, asisten profesor biologi integratif dan ilmu komputer dan teknik di Michigan State University, mengkategorikan AI menjadi 4 jenis, dari jenis sistem AI yang ada saat ini hingga sistem yang hidup, yang belum ada. Kategorinya adalah sebagai berikut:

Tipe 1: Mesin reaktif. Contohnya, Deep Blue, program catur IBM yang mengalahkan Garry Kasparov pada 1990-an. Deep Blue dapat mengidentifikasi bagian-bagian di papan catur dan membuat prediksi, tetapi ia tidak memiliki ingatan dan tidak dapat menggunakan pengalaman masa lalu untuk memberi tahu langkah berikutnya. Ini menganalisis kemungkinan langkah lawan dan dirinya sendiri serta memilih langkah paling strategis. Deep Blue dan GoogleGOGO dirancang untuk tujuan yang sempit dan tidak dapat dengan mudah diterapkan pada situasi lain.

Tipe 2: Memori terbatas. Sistem AI ini dapat menggunakan pengalaman masa lalu untuk menginformasikan keputusan masa depan. Beberapa fungsi pengambilan keputusan dalam mobil self-driving dirancang dengan cara ini. Pengamatan menginformasikan tindakan yang terjadi di masa depan yang tidak terlalu jauh, seperti jalur penggantian mobil. Pengamatan ini tidak disimpan secara permanen.

Tipe 3: Teori pikiran. Istilah psikologi ini mengacu pada pengertian bahwa orang lain memiliki keyakinan, keinginan sendiri dan niat yang memengaruhi keputusan yang mereka buat. AI jenis ini belum ada sampai saat ini.

Tipe 4: Kesadaran diri. Dalam kategori ini, sistem AI memiliki rasa diri, memiliki kesadaran. Mesin dengan kesadaran diri memahami keadaan mereka saat ini dan dapat menggunakan informasi untuk menyimpulkan apa yang orang lain rasakan. AI jenis ini belum ada sampai saat ini.

Contoh Implementasi

Otomasi: Sistem atau proses yang berfungsi secara otomatis. Misalnya, otomatisasi proses robotik (RPA) dapat diprogram untuk melakukan tugas bervolume tinggi dan berulang yang biasanya dilakukan manusia. RPA berbeda dari otomatisasi TI karena dapat beradaptasi dengan keadaan yang berubah.

Pembelajaran mesin: Ilmu membuat komputer bertindak tanpa pemrograman.
Visi mesin: Ilmu yang memungkinkan komputer untuk melihat. Teknologi ini menangkap dan menganalisis informasi visual menggunakan konversi analog-ke-digital kamera dan pemrosesan sinyal digital. Ini sering dibandingkan dengan penglihatan manusia, tetapi penglihatan mesin tidak terikat oleh biologi dan dapat diprogram untuk melihat melalui dinding. Ini digunakan dalam berbagai aplikasi dari identifikasi tanda tangan hingga analisis citra medis. Visi komputer, yang difokuskan pada pemrosesan gambar berbasis mesin, sering dikaitkan dengan visi mesin.

Pemrosesan bahasa alami (NLP): Pemrosesan bahasa manusia oleh program komputer. Salah satu yang lebih tua dan paling dikenal contoh NLP adalah deteksi spam, yang melihat baris subjek dan teks email dan memutuskan apakah itu termasuk sampah. Pendekatan saat ini untuk NLP didasarkan pada pembelajaran mesin. Tugas NLP termasuk terjemahan teks, analisis sentimen dan pengenalan suara.

Robotika: Bidang teknik yang berfokus pada desain dan pembuatan robot. Robot sering digunakan untuk melakukan tugas yang sulit bagi manusia untuk melakukan atau melakukan secara konsisten. Mereka digunakan dalam jalur perakitan untuk produksi mobil atau oleh NASA untuk memindahkan benda besar di luar angkasa. Para peneliti juga menggunakan pembelajaran mesin untuk membangun robot yang dapat berinteraksi dalam lingkungan sosial.

Mobil dengan pengemudi otomatis: Ini menggunakan kombinasi visi komputer, pengenalan gambar dan pembelajaran mendalam untuk membangun keterampilan otomatis dalam mengemudikan kendaraan sambil tetap berada di jalur tertentu dan menghindari penghalang yang tidak terduga, seperti pejalan kaki.


3.      Pengaruh Revolusi Industri 4.0 Pada Bisnis

Teknologi revolusi industri 4.0 memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap sendi-sendi kehidupan sosial. Tak hanya sampai di situ, dampak dari revolusi industri 4.0 juga berdampak kepada ekonomi, sosial dan budaya yang tidak terbayangkan sebelumnya.

Teknologi yang digunakan dalam revolusi industri juga memberikan dampak yang besar bagi bisnis. Teknologi tersebut bersifat disruptive yang mengubah secara drastis cara perusahaan menjalankan bisnisnya.

Penggunaan teknologi industri (TI) di Indonesia semakin berkembang pesat dalam organisasi. Di level negara, Indonesia menargetkan menjadi ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara dengan nilai pasar sebesar US$130 milyar di tahun 2020. International Data Corporation (IDC) Indonesia melaporkan bahwa belanja Information and Communication Technology (ICT) di Indonesia diperkirakan akan naik sebesar 16 persen dari Rp339 trilyun (US$9.6 milyar) di tahun 2017 menjadi Rp159 trilyun (US$11.9 milyar) ditahun 2020.

Laporan IDC tersebut juga menunjukkan tren peningkatan investasi TI pada teknologi terkini seperti cloud, data analytics, dan data centre management. Menurut laporan hasil studi lembaga riset McKinsey, Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara dengan tingkat optimisme tertinggi dalam menerapkan RI 4.0 (78%) setelah Vietnam (79%), disusul negara lainnya Thailand (72%), Singapura (53%) Filipina (52%) dan Malaysia (38%).

Lebih lanjut McKinsey melaporkan industri 4.0 akan memberikan dampak signifikan kepada ekonomi di Indonesia, yaitu pertambahan US$150 milyar pada tahun 2025 dimana sekitar 25 % dihasilkan dari sektor manufaktur.

Namun, tantangan terbesar dari RI4.0 adalah implementasinya, dimana menurut McKinsey hanya 13% dari responden penelitian melaporkan perusahaan mereka telah menerapkan teknologi RI 4.0. Tantangan tersebut berasal dari strategi bisnis yang tidak jelas, integrase TI yang tidak memadai, aspek keamanan (cybersecurity), dan kurangnya sumber daya manusia yang kompeten.

Terkait dengan revolusi industri 4.0, Kementerian Perindustrian Republik Indonesia (Kemenperin) menyusun road map “making Indonesia 4.0” dimana dengan teknologi industri 4.0 seperti advanced robotic, 3D printing, wearable devices, internet of things, dan artificial intelligence diharapkan dapat meningkatkan daya saing industri Indonesia sehingga Indonesia menjadi 10 besar kekuatan ekonomi dunia berdasarkan PDB di tahun 2030.

Making Indonesia 4.0 juga menargetkan industri Indonesia dapat menggandakan rasio produktivitas terhadap biaya dan mendorong ekspor netto menjadi 10% dari PDB di tahun 2030.

Untuk mencapai tujuan tersebut, Indonesia berkomitmen menganggarkan 2 persen dari PDB untuk penelitian dan pengembangan teknologi industri 4.0. Lebih lanjut, Kemenperin telah menghasilkan beberapa kebijakan strategis dalam upaya implementasi peta jalan tersebut, antara lain: insentif fiscal berupa super deductible tax untuk perusahaan yang melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan inovasi dan pendidikan/pelatihan.

Menghasilkan program e-smart IKM, menunjuk Lighthouse of industri 4.0 untuk memilih perusahaan-perusahan contoh penerapan TI 4.0, melaksanakan pelatihan untuk mencetak manajer dan tenaga ahli transformasi industri 4.0 dan dalam proses perumusan industri 4.0, yaitu sebuah indeks untuk mengukur tingkat kesiapan industri Indonesia bertansformasi menuju industri 4.0

Istilah RI 4.0 pertama kali dikemukakan oleh Professor Klaus Schwabb, seorang ekonom dari Jerman yang juga pendiri World Economic Forum (WEF). Menurut Professor Schwabb, RI 4.0 secara fundamental berbeda dengan revolusi industri versi sebelumnya.

Menurutnya, “the fourth industrial revolution will affect the very essence of our human experience”. Schwabb juga mengungkapkan ada empat dampak utama RI 4.0 kepada bisnis untuk semua sektor industri. Keempat dampak tersebut, yaitu bergesernya ekspektasi dari pelanggan, kualitas produk ditingkatkan dengan penggunaan data, terbentuknya bentuk kerjasama yang baru, dan model operasional yang diubah menjadi bentuk model digital yang baru.

Mckinsey memprediksi konsekuensi utama dari industri 4.0 adalah terciptanya “pabrik masa depan” atau “factories of the future” dimana proses produksi menyediakan aliran data tanpa batas di seluruh siklus hidup produk, sistem produksi yang sepenuhnya dijalankan secara otomatis yang didukung oleh analitik data yang canggih dan proses efisien lainnya. Manfaat dari “pabrik masa depan” adalah meringankan pekerjaan karyawan, meningkatkan kualitas dan memberikan penghematan biaya.

Akuntansi sebagai bagian dari bisnis, tentunya juga terdampak oleh perkembangan teknologi industri 4.0. Menurut American Accounting Association (AAA), akuntansi didefinisikan sebagai “the process of identifying, measuring and communicating economic information to permit informed judgments and decisions by users of the information.

Dengan kata lain, akuntansi dapat diartikan sebagai proses mengidentifikasi, mengukur, dan mengkomunikasikan informasi ekonomi yang digunakan oleh pengguna informasi untuk melakukan penilaian dan membuat keputusan.

Peran akuntansi tidak hanya sebatas menyediakan laporan keuangan yang handal, namun lebih luas yaitu berperan dalam memastikan proses bisnis organisasi berjalan efektif dan efisien.  Melindungi aset perusahaan baik aset berwujud maupun tidak berwujud, dan juga memastikan organisasi mematuhi aturan-aturan baik yang bersumber dari dalam maupun dari luar.

Revolusi industri 4.0 memberikan dampak nyata bagi proses bisnis akuntansi dan pengauditan teknologi RI 4.0, seperti Internet of Things (IoT), big data/data analytics, business process automation, blockchain/distributed ledger, artificial intelligence dan cloud computing sudah mulai banyak dipakai oleh organisasi dalam meningkatkan nilai dari proses bisnis akuntansi dan pengauditan.

Penggunaan teknologi RI 4.0 ini akan semakin banyak dipakai oleh organisasi baik dari sektor privat maupun publik. Program studi akuntansi perlu menyadari dan mengetahui perkembangan teknologi RI 4.0 tersebut dan menyesuaikan kurikulum, pengajaran, dan kesiapan dosen dalam mengintegrasikan materi tersebut dalam program studi akuntansi. (*)

 

 

4.      Masa Depan Pekerjaan

Presiden Joko Widodo meragukan bahwa lapangan kerja untuk 800 juta orang akan hilang akibat otomatisasi dan teknologi robot pada 2030. Dengan perencanaan dan antisipasi yang tepat, Presiden Jokowi meyakini hilangnya jutaan pekerjaan tersebut bisa dihindari (Katadata, 4/4). Apabila melihat komputer semakin hari semakin mampu mengerjakan tugas-tugas manusia yang kompleks, apakah Presiden Jokowi terlalu optimistis? Hasil penelitian McKinsey Global Institute menunjukkan sekitar 30 persen tugas dari dua pertiga jenis pekerjaan akan dapat digantikan oleh teknologi seperti robot atau kecerdasan buatan. McKinsey memprediksi otomatisasi tersebut akan mengakibatkan hilangnya 3-14 persen profesi pada 2030. Sekitar 75 hingga 375 juta tenaga kerja di dunia harus berganti bidang mata pencaharian. Lompatan teknologi yang “mengancam” ketersediaan lapangan kerja sebenarnya bukan permasalahan baru. Sebelum revolusi industri 4.0, penemuan teknologi mesin uap memicu revolusi industri 1.0 pada abad ke-18, manufaktur massal menandai revolusi industri 2.0 pada abad ke-19, dan revolusi industri 3.0 atau revolusi digital terjadi pada abad ke-20. Setiap kali teknologi muncul dan melonjak, permintaan tenaga kerja manual pun menyusut.


Masyarakat secara intuitif mengkhawatirkan terjadinya pengangguran massal karena pekerjaan-pekerjaan tertentu digantikan oleh teknologi komputer, robot dan mesin. Akan tetapi, data World Bank menunjukkan bahwa persentase pengangguran global tidak pernah naik secara signifikan sejak 1991 hingga kini, kecuali selama resesi 2008. Padahal, penggunaan teknologi maupun jumlah angkatan kerja terus meningkat pada jangka waktu tersebut.


Pekerjaan-pekerjaan yang dapat diotomatisasi memang mati perlahan, tapi jenis-jenis profesi baru akan lahir. Misalnya, lapangan kerja baru muncul di bidang yang berhubungan dengan perancangan dan pengoperasian teknologi itu sendiri, seperti computer programmer dan user interface designer. Transisi bidang lapangan kerja terlihat pada data proporsi pekerja per sektor menurut World Bank. Dari grafik 2, terlihat bahwa sebelum 1997, sektor agraris merupakan bidang mata pencaharian terbesar penduduk dunia, diikuti oleh sektor jasa, dan kemudian industri. Namun, persentase pekerja sektor agraris terus menurun dari 42 ke 29 persen, sementara persentase pekerja sektor jasa terus meningkat dari 37 ke 49 persen. Akhirnya pada 1998, sektor jasa menjadi bidang mata pencaharian mayoritas penduduk dunia, sedangkan sektor agraris turun ke posisi kedua. Menariknya, persentase pekerja sektor industri manufaktur yang biasanya paling terdampak otomatisasi, justru cenderung stagnan pada kisaran 21 persen selama 25 tahun terakhir.


Transisi Lapangan Kerja Berbeda Antarnegara Tidak semua negara di dunia mengalami pola transisi lapangan kerja yang sama. Transisi di negara-negara dengan pendapatan lebih rendah cenderung tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain berpendapatan lebih tinggi. Bahkan, di negara-negara berpendapatan paling rendah hingga kini belum menunjukkan adanya transisi di sektor-sektor lapangan kerja.


Persentase pekerja di sektor agraris (67 persen), jasa (25 persen), dan industri (8 persen) tidak berubah signifikan selama 25 tahun terakhir. Absennya transisi lapangan kerja mengindikasikan bahwa revolusi industri belum banyak menyentuh negara-negara dengan pendapatan terendah. Sementara di negara-negara berpendapatan menengah-bawah, berdasarkan data transisi lapangan kerja per sektor terlihat bahwa revolusi industri baru saja menghampiri. Selama 25 tahun terakhir, persentase pekerja sektor agraris terus menurun. Sementara persentase pekerja sektor jasa dan industri terus meningkat. Pola proporsi pekerja di kedua sektor tersebut baru mulai bertransformasi pada 2016, hampir 20 tahun setelah rata-rata global. Perbedaan lain dengan tren dunia adalah peningkatan persentase pekerja sektor industri manufaktur, meskipun landai. Adapun di negara-negara dengan pendapatan menengah-atas, pergeseran pekerjaan dari agraris menjadi jasa sudah terjadi sejak 2001. Persentase pekerja di sektor agraris pun terus menurun hingga dilampaui sektor manufaktur pada 2016. Pola transisi lapangan kerja di Indonesia terbilang berada di level pendapatan “menengah-menengah”. Transisi lapangan kerja sudah terjadi pada tahun 2007 atau sembilan tahun lebih dulu dibandingkan negara-negara berpendapatan menengah-bawah, meskipun terlambat tujuh tahun dibandingkan negara-negara berpendapatan menengah-atas. Sebelum 2007, sektor agraris merajai proporsi pekerja di Indonesia. Setelah itu, sektor jasa menggantikan sektor agraris sebagai bidang pekerjaan terbesar. Sementara, tren pekerja sektor industri manufaktur meningkat tipis. Perkembangan Pekerja Indonesia199520002005201020150102030405060 Pekerja Sektor Pertanian Pekerja Sektor Manufaktur Pekerja Sektor Jasa Pengangguran Evolusi dan Masa Depan Lapangan Kerja Peringkat lapangan kerja mayoritas di negara-negara berpendapatan menengah langsung berubah dari agraris menjadi jasa. Artinya, negara-negara tersebut tidak mengalami masa awal revolusi industri yang masih membutuhkan banyak pekerja. Sementara di negara-negara dengan pendapatan tinggi, revolusi industri telah mengubah perekonomian agraris menjadi industri manufaktur lebih dari seabad yang lalu. Semakin canggih teknologi, permintaan pekerja industri manufaktur pun berkurang, sehingga pekerja-pekerja di negara-negara berpendapatan tinggi beralih ke sektor jasa. Selama lebih dari 25 tahun terakhir, tidak terjadi perubahan peringkat pekerja per sektor di negara-negara dengan pendapatan tinggi. Sebagian besar penduduk negara-negara tersebut bekerja di sektor jasa (70 persen), diikuti oleh industri (26 persen) dan agraris (4 persen). Persentase pekerja per sektor di negara-negara berpendapatan tinggi lebih cenderung menunjukkan proses transisi lapangan kerja yang terkontrol, bukan stagnansi seperti yang terjadi di negara-negara berpendapatan rendah. Persentase pekerja sektor jasa di negara-negara tersebut cenderung naik tipis, berkebalikan total dengan persentase pekerja sektor agraris dan industri yang menurun perlahan. Tren dunia menunjukkan bahwa sektor jasa akan menjadi bidang pekerjaan utama di masa depan. Ketika teknologi membantu efisiensi sektor agrikultur dan manufaktur, harga barang pun semakin terjangkau. Akibatnya, waktu dan tenaga manusia tidak habis untuk memenuhi kebutuhan pokok. Manusia akan mulai mencari pemenuhan kebutuhan gaya hidup. Hal tersebut akan mendorong perkembangan sektor perekonomian tersier seperti pariwisata, film, seni masakan, fesyen, atau perawatan tubuh pun semakin berkembang. Produk-produk jasa tersebut membutuhkan kreativitas dan kecerdasan emosional manusia, sehingga sulit diotomatisasi atau diganti oleh komputer, robot dan mesin.

 

5.      Kolaborasi Industri Akademik dan Pemerintah

Pidato Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada tanggal 16 Agustus 2019, memunculkan sedikitnya 16 kata “SDM”, atau sumberdaya manusia. Kata SDM paling banyak muncul dalam pidato tahunan. Ini menegaskan tema Hari Ulang Tahun ke-74 Republik Indonesia, yaitu “SDM Unggul, Indonesia Maju”. 

Presiden mengingatkan, “Kita butuh ilmu pengetahuan dan teknologi yang membuat kita bisa melompat dan mendahului bangsa lain. Kita butuh terobosan-terobosan jalan pintas yang cerdik yang mudah yang cepat. Kita butuh SDM unggul yang berhati Indonesia, berideologi Pancasila. 

Kita butuh inovasi-inovasi yang distruptif yang membalik ketidakmungkinan menjadi peluang” dalam setiap bahasan soal Revolusi Industri 4.0, yang juga menjadi tema besar pemerintahan di mana pun termasuk Indonesia. 

Dalam buku berjudul “The Fourth Industrial Revolution”, Klaus Schwab, pendiri dan kepala eksekutif Forum Ekonomi Dunia (WEF), menyebutkan bahwa revolusi industri ke-4 ini sangat berbeda dibandingkan tiga revolusi industri sebelumnya, dalam hal skala, ruang lingkup dan kompleksitasnya. 

Revolusi Industri 4.0 memiliki karakteristik berupa rentang penerapan teknologi baru yang memadukan dunia fisik, digital dan biologi. Dampaknya ke semua area disiplin, dari ekonomi, industri, pemerintahan, masyarakat bahkan menantang ide dasar tentang apa yang dimaksud dengan manusia. 

Saat ini kita sudah melihat peng gunaan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence), dalam bentuk komputer super, drones atau sering disebut pesawat tanpa awak, asisten maya, pengurutan DNA, pengukur suhu pintar, sensor tubuh sampai micro chip yang kian kecil ukurannya, sampai lebih kecil dari sebutir pasir. 

Revolusinya tidak akan berhenti. Apa yang selama ini kita lihat di film produksi Hollywood, ketika satu sistem bisa mengendalikan proses produksi manufaktur secara global, sedang terjadi. 

Di kantor pusat perusahaan teknologi bisnis pemasaran daring seperti Alibaba, di Hangzhou, Tiongkok, jutaan transaksi yang terjadi seketika di seluruh dunia, dikendalikan dari sistem super komputer, termasuk pengirimannya. 

Tahun 2017, raksasa teknologi pemasaran lainnya, JD.Com, mengembangkan toko konsumen tanpa penjual dan pengiriman barang lewat drone. Fasilitas itu telah diperkenalkan pula di Indonesia. Beberapa tahun lalu Microsoft sudah memproduksi sistem kinetik yang membuat jarak tak lagi jadi faktor. 

Operasi rumit di Indonesia, bisa dikendalikan dari rumah sakit di AS, misalnya. Kita bisa mengakses dan membaca dokumen di perpustakaan kongres di AS tanpa perlu ke sana. 

Untuk yang sifatnya mengerikan adalah penggunaan senjata perang yang dikendalikan dari jarak jauh. Terobosan teknologi secara cepat menggeser batas-batas antara pekerjaan yang dilakukan oleh manusia dengan pekerjaan yang bisa dilakukan oleh mesin. 

Data WEF menunjukkan bahwa pada tahun 2018, rata-rata masih 71 persen pekerjaan di 12 sektor industri yang dipilih, masih dikerjakan manusia. Tetapi, tahun 2020, jumlahnya akan menurun ke 58 persen. Apakah masa depan bagi pekerja manusia begitu muramnya? 

Sebenarnya tidak juga. Di sini tantangannya, karena sesungguhnya muncul pekerjaan masa depan yang membutuhkan tidak hanya kecerdasan intelektual (IQ) saja, melainkan juga kecerdasan emosional (EQ). Dibalik inovasi penemuan mesin-mesin itu, ada manusia yang menciptakan dan menjalankannya. 

Distrupsi teknologi yang dilakukan Gojek, dengan penggunaan aplikasi, justru membuka peluang pekerjaan bagi jutaan pemotor, dan ratusan ribu usaha kecil dan menengah kuliner. Itu baru dari satu layanan. 

Distrupsi teknologi disebabkan, dan membuka pintu lahirnya kreativitas dan inovasi. Industri 4.0 membutuhkan SDM yang mampu menjawab tantangan pekerjaan masa depan. Cepat atau lambat, distrupsi menjalar ke dunia pendidikan. 

Dunia pendidikan harus mampu menghasilkan SDM yang tidak hanya kompeten dari sisi IQ, melainkan juga mumpuni di sisi EQ. Kolaborasi, Komunitas dan Konektivitas yang menjadi tiga mantra cara kerja di era digital saat ini, membutuhkan SDM dengan EQ, yang menentukan kelancaran kerja sama, komunikasi yang krusial dalam proses bekerja. 

Pendidikan 4.0 membutuhkan perubahan paradigma. Berorientasi kepada kebutuhan industry (demand-led), ketim bang pemasok lulusan (supply-led). Mengutamakan dasar kompetensi ketimbang hanya bermodalkan pengetahuan. 

Membutuhkan lulusan yang mampu mengadopsi distrupsi teknologi dan kemampuan dasar. Pendidikan 4.0 juga harus menciptakan format pendidikan jangka panjang, karena sifat teknologi yang berubah sangat cepat, ketimbang pembelajaran jangka pendek. 

Hasil riset pengajaran 2030 yang dilakukan Organisasi Negara Ekonomi Berkembang (OECD) menyebutkan bahwa pendidikan 4.0 haruslah fokus kepada tujuan inti dari prosesnya (purposefulness) dan membumi sesuai dengan keadaan (mindfulness), yang semuanya mengarah kepada pencapaian tingkat kebahagiaan dan kesejahteraan sebagaimana dicantumkan dalam SDGs. 

Membaca pidato Presiden lang sung mengingatkan kita akan terobosan yang dilakukan platform ruangguru.com yang dibangun oleh dua anak muda, Adamas Belva Syah Devara dan Iman Usman. 

Dalam waktu lima tahun, platform belajar dalam jejaring internet itu sudah digunakan oleh jutaan siswa di seluruh Indonesia. Belva dan Iman secara strategis menggunakan kemajuan teknologi berbasis internet untuk menyediakan guru untuk les privat bagi siswa yang ingin belajar secara daring. 

Pasalnya, tidak semua siswa memiliki akses ke sekolah dan guru yang berkualitas baik. Ruang guru kini memiliki 15 jutaan pengguna terdaftar dan menyediakan akses kepada lebih dari 300 ribu guru privat. 

Melalui ruangguru.com, Belva dan Iman melakukan terobosan kombinasi peningkatan kualitas pendidikan dan teknologi. Sebuah proses pendidikan dan pengembangan SDM di era 4.0. Apa yang dilakukan kedua anak muda itu berkejaran dengan kebutuhan yang harus dipenuhi oleh perguruan tinggi, akademi sam pai sekolah vokasi yang men jadi ujung produsen SDM yang akan memasuki dunia kerja. 

Data dari kementerian riset dan pendidikan tinggi saat ini ada 519 perguruan tinggi negeri, 495 perguruan tinggi swasta, 1.047 akademi negeri, 969 akademi swasta, 291.162 sekolah politeknik, 2.553 sekolah tinggi negeri, 2.467 sekolah tinggi swasta. Ada 228 institut negeri, 163 institut swasta, 22 akademi komunitas negeri dan 16 akademi komunitas swasta. 

Bagaimana kinerja perguruan tinggi Indonesia di tingkat global? Squad, majalah asal Inggris yang tiap tahun me rilis “University Impact Ranking”, yang didasarkan atas pengaruhnya kepada masyarakat luas melalui inovasi dan penemuannya. Lewat Times Higher Education, yang menggunakan 11 dari 17 indikator dalam Tujuan Pembangunan Global (SDGs) oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, diperoleh peringkat global. Dari 450 universitas di 76 negara yang di ukur, ada tujuh berasal dari Indonesia. 

Universitas Indonesia ada di peringkat ke-80, posisi tertinggi dari Indonesia. Di susul Universitas Diponegoro, Universitas Gadjah Mada, lalu Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung, Universitas Padjadjaran dan Universitas Negeri Yogyakarta. 

Bahwa ada tujuh yang masuk peringkat global, tentu kita apresiasi. Masalahnya, apakah cukup untuk melahirkan kebutuhan SDM yang mampu menjawab tantangan Industri 4.0, itu masih pertanyaan besar. Para unicorn, raksasa perusahaan teknologi seperti Gojek, Traveloka, Bukalapak dalam berbagai kesempatan mengeluhkan minimnya SDM yang sesuai dengan kualitas yang mereka harapkan untuk mengembangkan bisnis yang bergulirnya begitu cepat. 

Bisnis yang membutuhkan perspektif teknologi dan wawasan global, selain memahami kebutuhan lokal. Bisnis yang kian menjadikan data sebagai kunci pengelolaannya. Untuk Indonesia, tantangannya lebih berat lagi karena SDM kita tersebar di ratusan pulau-pulau. 

Kecepatan membangun infrastruktur fisik harus dibarengi dengan kegesitan meluaskan jaringan internet dan memastikan layanan listrik tidak padam agar internet dapat digunakan dengan efektif. Sebuah survei yang dilakukan oleh Change.Org dan LIPI soal di Provinsi Papua misalnya menunjukkan bahwa peningkatakan kualitas pendidikan menjadi masalah terbanyak, 44 persen, yang dikeluhkan warga Papua. 

Sesudah itu baru infrastruktur dan transportasi (41 persen) dan eksploitasi sumber daya alam dan investasi (38 persen). Survei dilakukan tahun 2017 melibatkan responden daring sebanyak 27.298. Bergeser lebih dekat ke Ibu kota Jakarta, kualitas pendidikan di daerah pinggirannya juga belum standar dengan sekolah ung gulan. 

Kemampuan para guru untuk menjalankan kurikulum yang berat terus menjadi ke luhan. Di kota besar dengan akses internet lebih baik, guru bersaing dengan kecanggihan dan daya tarik gawai yang bisa membetot perhatian siswa milenial dan gen Z, yang lebih suka menghabiskan berjam-jam waktu berselancar di YouTube. Cara pengajaran yang lebih menarik bagi generasi muda ini perlu diubah. Sesuai dengan pola konsumsi informasi di era digital. 

Tujuan dari Pendidikan 4.0 adalah agar lulusannya memiliki peluang mendapatkan pekerjaan yang sesuai sekaligus meningkatkan daya saing industri yang pada gilirannya meningkatkan daya saing sebuah negara. Anak didik diharapkan lebih siap menghadapi karakteristik dunia diwarnai ketidakpastian, perubahan konstan, kompleksitas dan ambiguitas. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kelebihan dan Kekurangan Bahan Bangunan Kayu dan Baja

TEKNIK SEMPROT DALAM APLIKASI FINISHING FURNITURE

Perbandingan Batu Bata, Batako dan Bata Ringan