Peningkatan Mutu Pendidikan melalui PAKEM
Oleh: M. Nawi
A. Pendahuluan
Sejak lima tahun terakhir bangsa kita terus dilanda musibah, baik yang disebabkan oleh faktor alam yang memang kejadiannya sulit dicegah maupun oleh karena ulah manusia yang seharusnya tidak perlu terjadi. Musibah gempa tektonik yang disusul tsunami di Aceh belum juga pulih, sudah di susul oleh gempa dan tsunami lain di Yogyakarta dan Pangandaran. Musibah lumpur Lapindo di Sidoarjo sudah hampir satu tahun belum ada tanda-tanda berhenti, bahkan kalau tidak dapat diatasi dan menunggu berhenti sendiri akan memakan waktu 31 tahun. Musibah dalam bidang transportasi terjadi di laut, darat, dan udara. Permasalahan lain yang selalu terulang pada hampir setiap tahun adalah masyarakat kita selalu kekeringan dan tidak ada air bila musim kemarau tiba, dan sebaliknya terjadi banjir dimana-mana bila musim hujan datang. Endemi demam berdarah dan flu burung yang terjadi di hampir seluruh wilayah juga selalu berulang dan akar permasalahannya belum juga terpecahkan. Kerugian yang diderita akibat musibah-musibah tersebut sudah tidak terhitung lagi jumlahnya; berapa nyawa yang melayang; berapa banyak harta benda milik masyarakat hilang; bahkan di Sidoarjo, bukan hanya nyawa dan harta, tetapi juga ”peradaban” masyarakat Sidoarjo lenyap ”ditelan” lumpur. Hal yang lebih mengenaskan dari semua peristiwa tersebut adalah tidak atau belum ada dari peristiwa tersebut yang teratasi secara tuntas; selalu menyisakan masalah.
Bila coba kita renungkan dan kaji secara seksama mengapa semua itu terjadi, dan mengapa semua permasalahan tersebut tidak teratasi secara tuntas, jawaban sementara penulis adalah karena kualitas sumber daya manusia (SDM) bangsa kita yang rendah. Hal ini sebagaimana juga ditunjukkan dari hasil survey Human Development Index (HDI) tahun 2005, yang berada pada posisi 112 dari 175 negara.
Pertanyaan selanjutnya, mengapa kualitas SDM kita rendah, karena mutu pendidikan kita rendah. Bicara mutu pendidikan, maka pendidikan formal di sekolah lah yang harus lebih banyak mendapat sorotan. Karena pendidikan di sekolah dilaksanakan secara terencana dan sistematis, sehingga seharusnya lebih banyak memberi kontribusi pada kualitas pendidikan. Itu artinya, kualitas pembelajaran yang terjadi di kelas-kelas sekolah kita selama ini rendah. Karena inti dari proses pendidikan di sekolah adalah pada pembelajaran di kelas. Pola pikir seperti inilah yang pernah dilontarkan oleh senator Amerika, John F. Kennedy pada tahun 1967, pada saat Amerika Serikat merasa kalah oleh Rusia yang lebih dulu meluncurkan roketnya ke luar angkasa. Saat itu Kennedy mengajukan pertanyaan ”Apa yang salah dengan pembelajaran kita di kelas?”
B. Mutu Pendidikan Kita
Rendahnya mutu sumber daya manusia bangsa kita diakibatkan oleh karena dunia pendidikan gagal melaksanakan perannya. Arief Rachman mengidentifikasi ada sembilan titik lemah pendidikan di Indonesia (Arief Rachman, 2006, 114) yang mengakibatkan dunia pendidikan kita “carut marut”. Kesembilan titik lemah tersebut adalah (1) selama ini keberhasilan pendidikan hanya diukur dari keunggulan ranah kognitif, dan mengabaikan ranah afektif dan psikomotorik, sehingga pembinaan dan pengembangan watak bangsa menjadi terabaikan, (2) model evaluasi yang digunakan selama ini hanya mengukur kemampuan berpikir konvergen, sehingga siswa tidak dipacu untuk berpikir kreatif dan imajinatif, (3) proses pendidikan berubah menjadi proses pengajaran, yang berakibat materi pelajaran menjadi tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari, (4) kemampuan menguasai materi tidak disertai dengan pembinaan kegemaran belajar. (5) titel atau gelar menjadi target pendidikan, tidak disertai dengan tanggung jawab ilmiah yang mumpuni, (6) materi pendidikan dan buku pelajaran ditulis dengan cara dan metode yang monoton, tidak menantang dan tidak menstimulasi daya kritis dan iamjinasi siswa (7) manajemen pendidikan yang menekankan pada tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan kepada pemerintah, bukan kepada stakeholder, (8) profesi guru yang terkesan menjadi profesi ilmiah dan kurang disertai dengan bobot profesi kemanusiaan, dan (9) upaya pemerataan pendidikan yang tidak didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai, serta lemahnya political will pemerintah terhadap upaya perbaikan pendidikan.
Dengan kondisi permasalahan sebagaimana diungkapkan oleh Arief Rahman, terutama dengan permasalahan nomor 1 – 4 yang secara langsung menyangkut proses pembelajaran, sangat wajar kalau proses pembelajaran yang terjadi di kelas tidak mampu menghasilkan orang-orang yang cerdas sebagaimana yang diamanatkan UUD ’45. Keberhasilan pembelajaran yang hanya diukur oleh penguasaan pengetahuan (kognitif) hanya akan mendorong proses pembelajaran menghasilkan orang-orang pintar, tetapi bisa jadi tidak punya hati nurani, egois, tidak mampu bekerja sama, dan sifat-sifat lain yang menyangkut afeksi. Sifat peduli terhadap kepentingan orang banyak, takut melakukan kecurangan karena akan merugikan orang lain, sopan santun terhadap orang yang lebih tua, kasih dan sayang terhadap yang lebih muda, semangat berkorban untuk kepentingan bersama, bersikap disiplin, adalah diantara sifat-sifat afeksi yang sulit diukur secara kuantitas dan hasilnya tidak dapat dilihat dengan segera. Karena itu pembelajaran yang mengembangkan sifat-sifat ini menjadi luput dari perhatian dalam pembelajaran. Padahal sifat-sifat ini terkait dengan kecerdasan emosi yang banyak berpengaruh pada kesuksesan seseorang dalam melaksanakan tugasnya di masyarakat dan dunia kerja. Belum lagi kalau dilihat tingkat penguasaan aspek kognitifnya yang dikembangkan. Apakah perkembangan kognitif yang dikembangkan sampai pada tahap kognitif yang lebih tinggi, seperti kemampuan mengaplikasi, menganalisis, mensistesis, mengevaluasi, bahkan membuat dan menemukan ilmu baru? Lebih penting lagi apakah perkembangan kognitifnya sampai pada tahap kemampuan merumuskan dan memecahkan masalah, terutama berkenaan dengan permasalahan kehidupan sehari-hari? Ini adalah satu permasalahan besar dengan pembelajaran di kelas.
Permasalahan kedua juga sangat besar dampaknya terhadap proses pembelajaran di kelas. Soedijarto, dalam penelitiannya menemukan bahwa sistem evaluasi ternyata mempengaruhi kualitas proses belajar, khususnya pada tingkat partisipasi belajar pada siswa. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh B.S. Bloom, yang menyatakan bahwa setiap siswa akan berusaha mempelajari apa yang diperkirakan akan ditanyakan pada saat dilaksanakan tes (Soedijarto, 1993: 81) Ini berarti, kalau bentuk evaluasi yang diberikan kepada siswa hanya pada penguasaan konsep dan fakta, maka siswa akan belajar dengan cara menghafal dan drilling dalam menjawab soal. Bentuk evaluasi seperti itu tidak akan mendorong siswa untuk berpikir secara kritis, kreatif, dan menemukan jawaban yang berbeda.
Berkenaan dengan permasalahan yang ketiga, banyak bukti di sekitar kita, siswa-siswa yang telah lulus dari sekolah tidak mampu berbuat banyak di lingkungannya; Mereka menjadi terasing dengan lingkungannya. Karena apa yang mereka pelajari di bangku sekolah adalah apa yang ada dalam buku (textbook), bukan permasalahan lingkungan yang sehari-hari mereka temukan dan rasakan. Pembelajaran yang dilaksanakan lebih bersifat tekstual, dan tidak kontekstual, sehingga ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan hanya bisa disimpan dalam memori dan tidak bermanfaat bagi kehidupannya. Sejalan dengan permasalahan-permasalahan sebelumnya, pembelajaran di sekolah cenderung hanya mendorong siswa untuk ”belajar untuk tahu” atau learning to know. Strategi pembelajaran yang mendorong siswa untuk senang untuk belajar dan menguasai kemampuan bagaimana belajar dilakukan (learning how to learn) tidak banyak dilakukan, sehingga pada saat mereka telah menempuh ujian dan dinyatakan lulus, maka mereka menganggap tugas belajar telah selesai; Mereka tidak memiliki kemauan dan kemampuan belajar mandiri untuk mengembangkan dirinya, baik di lingkungan masyarakat maupun di lingkungan dunia kerjanya.
C. Peningkatan Mutu Pendidikan melalui PAKEM
Dengan asumsi bahwa proses pembelajaran yang terjadi di kelas adalah inti dari proses pendidikan di sekolah, maka perbaikan mutu pendidikan harus dimulai dengan menata dan meningkatakan mutu pembelajaran di kelas. Mutu pendidikan yang diindikasikan oleh para lulusannya memiliki kemampuan berpikir kritis dan kreatif, perkembangan afeksi yang kuat (karakter, kesadaran diri, komitmen, dll), serta keterampilan psikomotor yang memadai. Artinya kriteria mutu pendidikan bukan hanya diukur oleh aspek kuantitatif, seperti nilai UN, nilai raport, banyaknya lulusan yang diterima di perguruan tinggi negeri, dan sebagainya, tetapi lebih pada aspek penguatan karakter dan watak siswa, keimanan kepada Allah, sopan santun, akhlak mulia, budi pekerti luhur, kemampuan memecahkan masalah, kemampuan menghasilkan karya dan produk inovatif, dan lain-lain.
Upaya untuk mencapai mutu pendidikan dengan kriteria sebagaimana digambarkan di atas tentu akan sulit dilakukan apabila pembelajaran yang dilakukan di kelas masih konvensional, yang hanya menuntut siswa untuk melakukan DDCH (datang, duduk, catat, dan hafal); Model pembelajaran yang didominasi oleh guru melalui ceramah-ceramahnya menyampaikan sejumlah informasi/materi pelajaran yang sudah disusun secara sistematis. Sebab pembelajaran dengan model ini tingkat partisipasi siswa sangat rendah; siswa sering ada dalam situasi ”tertekan”, yang berakibat pada tidak optimalnya pemusatan perhatian pada kemampuan yang harus dikuasainya (time on task) menjadi rendah. Siswa tidak mendapat kesempatan untuk melakukan eksplorasi lingkungan sekitar, sehingga membuat mereka terasing dengan lingkungannya dan tidak memiliki kemampuan untuk mencari dan menemukan informasi yang diperlukannya; dan yang paling penting siswa hanya terfokus pada pengembangan ranah kognitif, dan kurang memperhatikan aspek afeksi (emosional, mental, dan spiritual), serta keterampilannya. Dengan kondisi pembelajaran seperti ini akan sulit mengharapkan para siswa memiliki kemampuan berpikir yang kritis, kreatif, dan inovatif, serta memiliki karakter dan watak yang kuat untuk menghadapi berbagai permasalahan yang dihadapi dalam kehidupannya sehari-hari.
Ada banyak inovasi pembelajaran yang dapat diterapkan untuk mendorong terciptanya pembelajaran yang berkualitas yang berangkat dari pendekatan pembelajaran student active learning, diantaranya adalah apa yang disebut PAKEM. Dengan PAKEM para siswa akan mengikuti pembelajaran secara aktif, kreatif, dan demokratis; Siswa diberi kesempatan untuk berbuat dan berpikir secara bertanggung jawab; Siswa memiliki kesempatan untuk melakukan proses belajar yang sesungguhnya, dimana siswa berinteraksi langsung dengan lingkungannya; Siswa belajar bekerjasama untuk memecahkan masalah, sehingga akan terbentuk watak dan kemampuan bekerja tim; Siswa diberi kesempatan untuk melakukan eksplorasi lingkungannya yang memungkinkan tumbuhnya kesadaran akan pentingnya lingkungan dan kemampuan untuk mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
D. Mengapa PAKEM?
Sebagai sebuah profesi yang professional, maka semua tindakan yang dilakukan guru harus didasarkan pada kerangka teori dan kerangka pikir yang jelas. Demikian juga dengan pilihan untuk memilih dan memanfaatkan pendekatan PAKEM, harus didasari pada suatu rasional mengapa kita memilih dan menggunakan pendekatan tersebut. Berkenaan dengan hal ini perlu dikemukakan sejumlah alasan dan dasar teoritik sekaligus landasan filosofis dikembangkannya pendekatan PAKEM.
Salah satu perkembangan teori pembelajaran yang mendasari munculnya pendekatan PAKEM adalah terjadinya pergeseran paradigma proses belajar mengajar, yaitu dari konsep pengajaran menjadi pembelajaran yang berimplikasi kepada peran yang harus dilakukan guru yang tadinya mengajar menjadi membelajarkan. Konsep pembelajaran yang merupakan terjemahan dari kata instructional pada dasarnya telah lama dikenal di Indonesia, yaitu sejak tahun 1975, yang tergambar dalam rumusan tujuan yang harus dibuat guru, yaitu rumusan tujuan instruksional khusus. Namun implementasi dari konsep pembelajaran di dalam kelas belum juga terjadi secara sesungguhnya.
Dalam konsep pengajaran peran yang paling dominan ada pada guru, yaitu sebagai pengajar yang melaksanakan tugasnya mengajar. Dalam kegiatan pengajaran komunikasi sering terjadi hanya satu arah, yaitu dari guru kepada siswa, sehingga siswa lebih banyak pasif. Pada saat guru menyampaikan materi pelajaran, yang biasanya dilakukan melalui ceramah, para siswa hanya menerima apa yang disampaikan oleh guru. Permasalahannya yang paling mendasar adalah pada saat seorang guru mengajar apakah ada jaminan bahwa para siswanya belajar? (Belajar dalam pengertian sebagaimana dikemukakan oleh para penganut aliran kognitivistik, yaitu adanya aktifitas mental dalam berinteraksi dengan lingkungannya yang menghasilkan perubahan perilaku yang relatif konstan.) Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah apa yang disampaikan oleh Mel Silberman: Belajar bukan merupakan konsekuensi otomatis dari penyampaian informasi ke dalam kepala seorang peserta didik. Belajar memerlukan keterlibatan mental dan tindakan pelajar itu sendiri. (Mel Silberman, 1996)
Berbeda dengan konsep pengajaran, konsep pembelajaran lebih mengutamakan pada aktifitas siswa dalam melakukan kegiatan belajarnya. Dalam konsep pembelajaran tugas guru adalah membelajarkan siswa. Artinya berbagai upaya yang dilakukan guru dalam rangka mengkondisikan para siswanya untuk belajar.
Dengan demikian, fokus dari interaksi dan komunikasi ”di dalam kelas” ada pada siswa, yaitu melakukan aktifitas belajar. Melalui penerapan konsep pembelajaran ini maka siswa akan menjadi aktif melakukan berbagai aktifitas belajar, yang tidak hanya mendengarkan, tetapi mereka harus terlibat secara aktif mencari, menemukan, mendiskusikan, merumuskan, dan melaporkan hasil belajarnya. Melalui proses seperti ini maka kegiatan belajar anak akan menjadi lebih bermakna (meaningfull learning).
E. Apa itu PAKEM?
PAKEM atau Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan, pertama kali diperkenalkan menyertai program Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang dikembangkan UNICEF-UNESCO-Pemerintah RI (Kompas, 8 Desemer 2003). PAKEM adalah pembelajaran yang membuat siswa aktif dan kreatif sehingga menjadi efektif tetapi tetap menyenangkan. Model ini dikembangkan untuk menciptakan situasi pembelajaran yang dialami para siswa lebih menggairahkan dan memotivasi siswa untuk melakukan kegiatan belajar secara aktif yang pada akhirnya mencapai hasil belajar yang optimal.
Pembelajaran aktif dimaksudkan bahwa proses pembelajaran tersebut menuntut siswa dan guru secara aktif melakukan tugas dan fungsinya masing-masing. Guru secara aktif merancang dan mengkondisikan siswanya untuk belajar, bahkan berupaya memfasilitasi kebutuhan siswa dalam melaksanakan kegiatan belajarnya. Sementara siswa aktif melakukan tugasnya sebagai pelajar untuk belajar. Bentuk aktifitas yang dilakukan siswa bukan hanya aktifitas fisik tetapi dan terutama aktifitas mental, karena inti dari kegiatan belajar adalah adanya aktifitas mental. Tanpa keterlibatan mental dalam suatu aktifitas yang dilakukan siswa maka tidak akan pernah terjadi proses belajar di dalam dirinya. Pembelajaran aktif ini merupakan respon terhadap pembelajaran yang selama ini bersifat pasif, dimana para siswa hanya menerima informasi dari gurunya melalui metode ceramah.
Pembelajaran yang kreatif dimaksudkan pembelajaran yang beragam, sehingga mampu mengakomodir gaya belajar dan tingkat kemampuan belajar siswa yang bervariasi. Disisi lain pembelajaran kreatif juga dapat diartikan sebagai pembelajaran yang mampu menstimulasi daya imajinasi siswa untuk menghasilkan sesuatu. Dalam pembelajaran kreatif, peran guru bukan sebagai penyampai informasi/materi yang sudah siap “dicerna” oleh siswa, tetapi lebih pada sebagai stimulator ide yang mendorong pikiran dan imajinasi siswa muncul dan terealisasi melalui kegiatan belajar. Pembelajaran kreatif juga diartikan sebagai pembelajaran yang mendorong para siswanya menjadi kreatif, yaitu lancar, luwes, dan orisinil.
Pembelajaran efektif adalah pembelajaran yang mampu “membawa” para siswanya menguasai kemampuan yang diharapkan di akhir proses pembelajaran. Keefektifan pembelajaran dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi guru yang melaksanakan pembelajaran, dan dari sisi siswa yang belajar. Dilihat dari sisi guru, pembelajaran dikatakan efektif apabila pembelajaran mampu menstimulasi aktifitas siswa secara optimal untuk melakukan kegiatan belajar dan seluruh atau sebagian besar aktifitas yang direncanakan dapat terlaksana. Sementara bila dilihat dari sisi siswa, pembelajaran dikatakan efektif apabila pembelajaran tersebut dapat mendorong siswa untuk melakukan berbagai kegiatan belajar secara aktif, dan di akhir pembelajaran para siswa mampu menguasai seluruh atau sebagai besar tujuan pembelajaran yang ditetapkan, dan penguasaan pengetahuan tersebut dapat bertahan dalam waktu yang relatif lama.
Melalui seluruh proses pembelajaran di atas, diharapkan pembelajaran yang dialami siswa menjadi menyenangkan. Pembelajaran yang menyenangkan tidak identik dengan pembelajaran yang gaduh, berisik, dan tidak terkendali. Pembelajaran yang menyenangkan adalah pembelajaran yang dilakukan oleh siswa secara sukarela, tanpa ada unsur paksaan dari luar; siswa melakukan aktifitasnya dengan hati yang senang dan tidak terkekan. Pembelajaran yang menyenangkan akan terjadi apabila situasi pembelajaran terbuka, demokratis, dan menantang. Para siswa memiliki kesempatan untuk melakukan berbagai aktifitas tanpa harus takut salah dan dimarahi oleh siapapun. Melalui pembelajaran yang menyenangkan, siswa akan dapat mencurahkan perhatiannya secara penuh pada belajar sehingga waktu curah perhatiannya (time on task) tinggi. Menurut berbagai hasil penelitian, tingginya time on task terbukti meningkatkan hasil belajar.
Untuk dapat mengenali pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan dapat mencermati ciri-cirinya sebagaimana dikemukakan oleh Lynne Hill, yaitu:
a. Pembelajaran tersebut direncanakan dengan baik, yang didasarkan pada hasil identifikasi tujuan dan kemampuan awal siswa, dan mencakup urutan pembelajaran, pengorganisasian kelas, pengelolaan sumber belajar, dan cara penilaian yang akan digunakan.
b. Pembelajaran tersebut menarik dan menantang yang ditandai oleh peran guru yang tidak terlalu dominan, sementara siswa aktif melakukan aktifitas belajar. Pembelajaran juga dapat meningkatkan motivasi belajar, meningkatkan kemampuan berpikir kritis, memecahkan masalah, termasuk tugas-tugas terbuka.
c. Siswa sebagai pusat pembelajaran, yang ditandai oleh adanya tuntutan agar siswa aktif terlibat, berpartisipasi, bekerja, berinteraksi antarsiswa, menemukan dan memecahkan masalah (www.mbeproject.net/mbe511.html)
F. Kesimpulan
Peningkatan kualitas sumber daya manusia haruslah menjadi prioritas dalam pembangunan nasional kita. Itu berarti pembangunan dunia pendidikan harus mendapatkan perhatian yang serius, komitmen yang kuat dan tindakan nyata dari seluruh stakeholder. Pembangunan dunia pendidikan memang harus dilakukan secara sistemik, melalui pembenahan berbagai sektor yang terkait. Khusus untuk pembangunan pendidikan formal (sekolah), semua perbaikan yang dilakukan harus mengarah dan mendukung pada peningkatan kualitas proses pembelajaran yang dilakukan di ”kelas”. Karena inti dari proses pendidikan di sekolah ada pada proses pembelajaran.
Kualitas proses pembelajaran sangat dipengaruhi oleh kualitas interaksi antara siswa dengan sumber belajar. Artinya kualitas pembelajaran dikatakan baik apabila para siswanya secara aktif melakukan berbagai kegiatan untuk mengembangkan dirinya secara utuh (kognitif, afektif, dan psikomotorik) melalui interaksinya dengan berbagai sumber belajar. Untuk dapat terjadi seperti itu perlu diciptakan lingkungan dan suasana belajar yang mendukung, yaitu lingkungan yang mendorong anak untuk melakukan eksplorasi pada lingkungannya; memberi kesempatan kepada siswa untuk berpikir secara divergen, kritis, kreatif, dan inovatif; dan melatih anak untuk bekerja secara kooperatif dan kolaboratif; Salah satu model pembelajaran yang mampu mendorong itu semua adalah apa yang disebut PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan).
Demikian beberapa pokok pikiran yang dapat penulis sampaikan. Mudah-mudahan ada manfaatnya, dan mohon maaf atas segala kekurangan. Terima kasih.
DAFTAR RUJUKAN
http://www.texascollaborative.org./what is Contextual Teaching and Learning.html
http://www.mbeproject.net/mbe511.html
http://edu-articles.com/pakem-2/
http://ilmusains.com/pakem.html
http://hilda08.wordpress.com/filsafat-ilmu_ontologi-pengetahuan/
http://en.wikipedia.org/wiki/Waterfall_model
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0308/13/dikbud/488911.htm,
http://groups.yahoo.com/group/pakguruonline/message/1735
http:www.depdiknas.go.id/Jurnal
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/03/00594729
http://diknas.malangkota.go.id/e-learning/mod/forum/discuss.php?d=11,
http://re-searchengines.com/linda6-07.html
http://www.depdiknas.go.id/serba_serbi/Renstra/bab-IV.htm, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0502/28/Didaktika/1579467.htm,
http://abdullahfaqih.multiply.com/journal/ item/5,
A. Pendahuluan
Sejak lima tahun terakhir bangsa kita terus dilanda musibah, baik yang disebabkan oleh faktor alam yang memang kejadiannya sulit dicegah maupun oleh karena ulah manusia yang seharusnya tidak perlu terjadi. Musibah gempa tektonik yang disusul tsunami di Aceh belum juga pulih, sudah di susul oleh gempa dan tsunami lain di Yogyakarta dan Pangandaran. Musibah lumpur Lapindo di Sidoarjo sudah hampir satu tahun belum ada tanda-tanda berhenti, bahkan kalau tidak dapat diatasi dan menunggu berhenti sendiri akan memakan waktu 31 tahun. Musibah dalam bidang transportasi terjadi di laut, darat, dan udara. Permasalahan lain yang selalu terulang pada hampir setiap tahun adalah masyarakat kita selalu kekeringan dan tidak ada air bila musim kemarau tiba, dan sebaliknya terjadi banjir dimana-mana bila musim hujan datang. Endemi demam berdarah dan flu burung yang terjadi di hampir seluruh wilayah juga selalu berulang dan akar permasalahannya belum juga terpecahkan. Kerugian yang diderita akibat musibah-musibah tersebut sudah tidak terhitung lagi jumlahnya; berapa nyawa yang melayang; berapa banyak harta benda milik masyarakat hilang; bahkan di Sidoarjo, bukan hanya nyawa dan harta, tetapi juga ”peradaban” masyarakat Sidoarjo lenyap ”ditelan” lumpur. Hal yang lebih mengenaskan dari semua peristiwa tersebut adalah tidak atau belum ada dari peristiwa tersebut yang teratasi secara tuntas; selalu menyisakan masalah.
Bila coba kita renungkan dan kaji secara seksama mengapa semua itu terjadi, dan mengapa semua permasalahan tersebut tidak teratasi secara tuntas, jawaban sementara penulis adalah karena kualitas sumber daya manusia (SDM) bangsa kita yang rendah. Hal ini sebagaimana juga ditunjukkan dari hasil survey Human Development Index (HDI) tahun 2005, yang berada pada posisi 112 dari 175 negara.
Pertanyaan selanjutnya, mengapa kualitas SDM kita rendah, karena mutu pendidikan kita rendah. Bicara mutu pendidikan, maka pendidikan formal di sekolah lah yang harus lebih banyak mendapat sorotan. Karena pendidikan di sekolah dilaksanakan secara terencana dan sistematis, sehingga seharusnya lebih banyak memberi kontribusi pada kualitas pendidikan. Itu artinya, kualitas pembelajaran yang terjadi di kelas-kelas sekolah kita selama ini rendah. Karena inti dari proses pendidikan di sekolah adalah pada pembelajaran di kelas. Pola pikir seperti inilah yang pernah dilontarkan oleh senator Amerika, John F. Kennedy pada tahun 1967, pada saat Amerika Serikat merasa kalah oleh Rusia yang lebih dulu meluncurkan roketnya ke luar angkasa. Saat itu Kennedy mengajukan pertanyaan ”Apa yang salah dengan pembelajaran kita di kelas?”
B. Mutu Pendidikan Kita
Rendahnya mutu sumber daya manusia bangsa kita diakibatkan oleh karena dunia pendidikan gagal melaksanakan perannya. Arief Rachman mengidentifikasi ada sembilan titik lemah pendidikan di Indonesia (Arief Rachman, 2006, 114) yang mengakibatkan dunia pendidikan kita “carut marut”. Kesembilan titik lemah tersebut adalah (1) selama ini keberhasilan pendidikan hanya diukur dari keunggulan ranah kognitif, dan mengabaikan ranah afektif dan psikomotorik, sehingga pembinaan dan pengembangan watak bangsa menjadi terabaikan, (2) model evaluasi yang digunakan selama ini hanya mengukur kemampuan berpikir konvergen, sehingga siswa tidak dipacu untuk berpikir kreatif dan imajinatif, (3) proses pendidikan berubah menjadi proses pengajaran, yang berakibat materi pelajaran menjadi tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari, (4) kemampuan menguasai materi tidak disertai dengan pembinaan kegemaran belajar. (5) titel atau gelar menjadi target pendidikan, tidak disertai dengan tanggung jawab ilmiah yang mumpuni, (6) materi pendidikan dan buku pelajaran ditulis dengan cara dan metode yang monoton, tidak menantang dan tidak menstimulasi daya kritis dan iamjinasi siswa (7) manajemen pendidikan yang menekankan pada tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan kepada pemerintah, bukan kepada stakeholder, (8) profesi guru yang terkesan menjadi profesi ilmiah dan kurang disertai dengan bobot profesi kemanusiaan, dan (9) upaya pemerataan pendidikan yang tidak didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai, serta lemahnya political will pemerintah terhadap upaya perbaikan pendidikan.
Dengan kondisi permasalahan sebagaimana diungkapkan oleh Arief Rahman, terutama dengan permasalahan nomor 1 – 4 yang secara langsung menyangkut proses pembelajaran, sangat wajar kalau proses pembelajaran yang terjadi di kelas tidak mampu menghasilkan orang-orang yang cerdas sebagaimana yang diamanatkan UUD ’45. Keberhasilan pembelajaran yang hanya diukur oleh penguasaan pengetahuan (kognitif) hanya akan mendorong proses pembelajaran menghasilkan orang-orang pintar, tetapi bisa jadi tidak punya hati nurani, egois, tidak mampu bekerja sama, dan sifat-sifat lain yang menyangkut afeksi. Sifat peduli terhadap kepentingan orang banyak, takut melakukan kecurangan karena akan merugikan orang lain, sopan santun terhadap orang yang lebih tua, kasih dan sayang terhadap yang lebih muda, semangat berkorban untuk kepentingan bersama, bersikap disiplin, adalah diantara sifat-sifat afeksi yang sulit diukur secara kuantitas dan hasilnya tidak dapat dilihat dengan segera. Karena itu pembelajaran yang mengembangkan sifat-sifat ini menjadi luput dari perhatian dalam pembelajaran. Padahal sifat-sifat ini terkait dengan kecerdasan emosi yang banyak berpengaruh pada kesuksesan seseorang dalam melaksanakan tugasnya di masyarakat dan dunia kerja. Belum lagi kalau dilihat tingkat penguasaan aspek kognitifnya yang dikembangkan. Apakah perkembangan kognitif yang dikembangkan sampai pada tahap kognitif yang lebih tinggi, seperti kemampuan mengaplikasi, menganalisis, mensistesis, mengevaluasi, bahkan membuat dan menemukan ilmu baru? Lebih penting lagi apakah perkembangan kognitifnya sampai pada tahap kemampuan merumuskan dan memecahkan masalah, terutama berkenaan dengan permasalahan kehidupan sehari-hari? Ini adalah satu permasalahan besar dengan pembelajaran di kelas.
Permasalahan kedua juga sangat besar dampaknya terhadap proses pembelajaran di kelas. Soedijarto, dalam penelitiannya menemukan bahwa sistem evaluasi ternyata mempengaruhi kualitas proses belajar, khususnya pada tingkat partisipasi belajar pada siswa. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh B.S. Bloom, yang menyatakan bahwa setiap siswa akan berusaha mempelajari apa yang diperkirakan akan ditanyakan pada saat dilaksanakan tes (Soedijarto, 1993: 81) Ini berarti, kalau bentuk evaluasi yang diberikan kepada siswa hanya pada penguasaan konsep dan fakta, maka siswa akan belajar dengan cara menghafal dan drilling dalam menjawab soal. Bentuk evaluasi seperti itu tidak akan mendorong siswa untuk berpikir secara kritis, kreatif, dan menemukan jawaban yang berbeda.
Berkenaan dengan permasalahan yang ketiga, banyak bukti di sekitar kita, siswa-siswa yang telah lulus dari sekolah tidak mampu berbuat banyak di lingkungannya; Mereka menjadi terasing dengan lingkungannya. Karena apa yang mereka pelajari di bangku sekolah adalah apa yang ada dalam buku (textbook), bukan permasalahan lingkungan yang sehari-hari mereka temukan dan rasakan. Pembelajaran yang dilaksanakan lebih bersifat tekstual, dan tidak kontekstual, sehingga ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan hanya bisa disimpan dalam memori dan tidak bermanfaat bagi kehidupannya. Sejalan dengan permasalahan-permasalahan sebelumnya, pembelajaran di sekolah cenderung hanya mendorong siswa untuk ”belajar untuk tahu” atau learning to know. Strategi pembelajaran yang mendorong siswa untuk senang untuk belajar dan menguasai kemampuan bagaimana belajar dilakukan (learning how to learn) tidak banyak dilakukan, sehingga pada saat mereka telah menempuh ujian dan dinyatakan lulus, maka mereka menganggap tugas belajar telah selesai; Mereka tidak memiliki kemauan dan kemampuan belajar mandiri untuk mengembangkan dirinya, baik di lingkungan masyarakat maupun di lingkungan dunia kerjanya.
C. Peningkatan Mutu Pendidikan melalui PAKEM
Dengan asumsi bahwa proses pembelajaran yang terjadi di kelas adalah inti dari proses pendidikan di sekolah, maka perbaikan mutu pendidikan harus dimulai dengan menata dan meningkatakan mutu pembelajaran di kelas. Mutu pendidikan yang diindikasikan oleh para lulusannya memiliki kemampuan berpikir kritis dan kreatif, perkembangan afeksi yang kuat (karakter, kesadaran diri, komitmen, dll), serta keterampilan psikomotor yang memadai. Artinya kriteria mutu pendidikan bukan hanya diukur oleh aspek kuantitatif, seperti nilai UN, nilai raport, banyaknya lulusan yang diterima di perguruan tinggi negeri, dan sebagainya, tetapi lebih pada aspek penguatan karakter dan watak siswa, keimanan kepada Allah, sopan santun, akhlak mulia, budi pekerti luhur, kemampuan memecahkan masalah, kemampuan menghasilkan karya dan produk inovatif, dan lain-lain.
Upaya untuk mencapai mutu pendidikan dengan kriteria sebagaimana digambarkan di atas tentu akan sulit dilakukan apabila pembelajaran yang dilakukan di kelas masih konvensional, yang hanya menuntut siswa untuk melakukan DDCH (datang, duduk, catat, dan hafal); Model pembelajaran yang didominasi oleh guru melalui ceramah-ceramahnya menyampaikan sejumlah informasi/materi pelajaran yang sudah disusun secara sistematis. Sebab pembelajaran dengan model ini tingkat partisipasi siswa sangat rendah; siswa sering ada dalam situasi ”tertekan”, yang berakibat pada tidak optimalnya pemusatan perhatian pada kemampuan yang harus dikuasainya (time on task) menjadi rendah. Siswa tidak mendapat kesempatan untuk melakukan eksplorasi lingkungan sekitar, sehingga membuat mereka terasing dengan lingkungannya dan tidak memiliki kemampuan untuk mencari dan menemukan informasi yang diperlukannya; dan yang paling penting siswa hanya terfokus pada pengembangan ranah kognitif, dan kurang memperhatikan aspek afeksi (emosional, mental, dan spiritual), serta keterampilannya. Dengan kondisi pembelajaran seperti ini akan sulit mengharapkan para siswa memiliki kemampuan berpikir yang kritis, kreatif, dan inovatif, serta memiliki karakter dan watak yang kuat untuk menghadapi berbagai permasalahan yang dihadapi dalam kehidupannya sehari-hari.
Ada banyak inovasi pembelajaran yang dapat diterapkan untuk mendorong terciptanya pembelajaran yang berkualitas yang berangkat dari pendekatan pembelajaran student active learning, diantaranya adalah apa yang disebut PAKEM. Dengan PAKEM para siswa akan mengikuti pembelajaran secara aktif, kreatif, dan demokratis; Siswa diberi kesempatan untuk berbuat dan berpikir secara bertanggung jawab; Siswa memiliki kesempatan untuk melakukan proses belajar yang sesungguhnya, dimana siswa berinteraksi langsung dengan lingkungannya; Siswa belajar bekerjasama untuk memecahkan masalah, sehingga akan terbentuk watak dan kemampuan bekerja tim; Siswa diberi kesempatan untuk melakukan eksplorasi lingkungannya yang memungkinkan tumbuhnya kesadaran akan pentingnya lingkungan dan kemampuan untuk mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
D. Mengapa PAKEM?
Sebagai sebuah profesi yang professional, maka semua tindakan yang dilakukan guru harus didasarkan pada kerangka teori dan kerangka pikir yang jelas. Demikian juga dengan pilihan untuk memilih dan memanfaatkan pendekatan PAKEM, harus didasari pada suatu rasional mengapa kita memilih dan menggunakan pendekatan tersebut. Berkenaan dengan hal ini perlu dikemukakan sejumlah alasan dan dasar teoritik sekaligus landasan filosofis dikembangkannya pendekatan PAKEM.
Salah satu perkembangan teori pembelajaran yang mendasari munculnya pendekatan PAKEM adalah terjadinya pergeseran paradigma proses belajar mengajar, yaitu dari konsep pengajaran menjadi pembelajaran yang berimplikasi kepada peran yang harus dilakukan guru yang tadinya mengajar menjadi membelajarkan. Konsep pembelajaran yang merupakan terjemahan dari kata instructional pada dasarnya telah lama dikenal di Indonesia, yaitu sejak tahun 1975, yang tergambar dalam rumusan tujuan yang harus dibuat guru, yaitu rumusan tujuan instruksional khusus. Namun implementasi dari konsep pembelajaran di dalam kelas belum juga terjadi secara sesungguhnya.
Dalam konsep pengajaran peran yang paling dominan ada pada guru, yaitu sebagai pengajar yang melaksanakan tugasnya mengajar. Dalam kegiatan pengajaran komunikasi sering terjadi hanya satu arah, yaitu dari guru kepada siswa, sehingga siswa lebih banyak pasif. Pada saat guru menyampaikan materi pelajaran, yang biasanya dilakukan melalui ceramah, para siswa hanya menerima apa yang disampaikan oleh guru. Permasalahannya yang paling mendasar adalah pada saat seorang guru mengajar apakah ada jaminan bahwa para siswanya belajar? (Belajar dalam pengertian sebagaimana dikemukakan oleh para penganut aliran kognitivistik, yaitu adanya aktifitas mental dalam berinteraksi dengan lingkungannya yang menghasilkan perubahan perilaku yang relatif konstan.) Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah apa yang disampaikan oleh Mel Silberman: Belajar bukan merupakan konsekuensi otomatis dari penyampaian informasi ke dalam kepala seorang peserta didik. Belajar memerlukan keterlibatan mental dan tindakan pelajar itu sendiri. (Mel Silberman, 1996)
Berbeda dengan konsep pengajaran, konsep pembelajaran lebih mengutamakan pada aktifitas siswa dalam melakukan kegiatan belajarnya. Dalam konsep pembelajaran tugas guru adalah membelajarkan siswa. Artinya berbagai upaya yang dilakukan guru dalam rangka mengkondisikan para siswanya untuk belajar.
Dengan demikian, fokus dari interaksi dan komunikasi ”di dalam kelas” ada pada siswa, yaitu melakukan aktifitas belajar. Melalui penerapan konsep pembelajaran ini maka siswa akan menjadi aktif melakukan berbagai aktifitas belajar, yang tidak hanya mendengarkan, tetapi mereka harus terlibat secara aktif mencari, menemukan, mendiskusikan, merumuskan, dan melaporkan hasil belajarnya. Melalui proses seperti ini maka kegiatan belajar anak akan menjadi lebih bermakna (meaningfull learning).
E. Apa itu PAKEM?
PAKEM atau Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan, pertama kali diperkenalkan menyertai program Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang dikembangkan UNICEF-UNESCO-Pemerintah RI (Kompas, 8 Desemer 2003). PAKEM adalah pembelajaran yang membuat siswa aktif dan kreatif sehingga menjadi efektif tetapi tetap menyenangkan. Model ini dikembangkan untuk menciptakan situasi pembelajaran yang dialami para siswa lebih menggairahkan dan memotivasi siswa untuk melakukan kegiatan belajar secara aktif yang pada akhirnya mencapai hasil belajar yang optimal.
Pembelajaran aktif dimaksudkan bahwa proses pembelajaran tersebut menuntut siswa dan guru secara aktif melakukan tugas dan fungsinya masing-masing. Guru secara aktif merancang dan mengkondisikan siswanya untuk belajar, bahkan berupaya memfasilitasi kebutuhan siswa dalam melaksanakan kegiatan belajarnya. Sementara siswa aktif melakukan tugasnya sebagai pelajar untuk belajar. Bentuk aktifitas yang dilakukan siswa bukan hanya aktifitas fisik tetapi dan terutama aktifitas mental, karena inti dari kegiatan belajar adalah adanya aktifitas mental. Tanpa keterlibatan mental dalam suatu aktifitas yang dilakukan siswa maka tidak akan pernah terjadi proses belajar di dalam dirinya. Pembelajaran aktif ini merupakan respon terhadap pembelajaran yang selama ini bersifat pasif, dimana para siswa hanya menerima informasi dari gurunya melalui metode ceramah.
Pembelajaran yang kreatif dimaksudkan pembelajaran yang beragam, sehingga mampu mengakomodir gaya belajar dan tingkat kemampuan belajar siswa yang bervariasi. Disisi lain pembelajaran kreatif juga dapat diartikan sebagai pembelajaran yang mampu menstimulasi daya imajinasi siswa untuk menghasilkan sesuatu. Dalam pembelajaran kreatif, peran guru bukan sebagai penyampai informasi/materi yang sudah siap “dicerna” oleh siswa, tetapi lebih pada sebagai stimulator ide yang mendorong pikiran dan imajinasi siswa muncul dan terealisasi melalui kegiatan belajar. Pembelajaran kreatif juga diartikan sebagai pembelajaran yang mendorong para siswanya menjadi kreatif, yaitu lancar, luwes, dan orisinil.
Pembelajaran efektif adalah pembelajaran yang mampu “membawa” para siswanya menguasai kemampuan yang diharapkan di akhir proses pembelajaran. Keefektifan pembelajaran dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi guru yang melaksanakan pembelajaran, dan dari sisi siswa yang belajar. Dilihat dari sisi guru, pembelajaran dikatakan efektif apabila pembelajaran mampu menstimulasi aktifitas siswa secara optimal untuk melakukan kegiatan belajar dan seluruh atau sebagian besar aktifitas yang direncanakan dapat terlaksana. Sementara bila dilihat dari sisi siswa, pembelajaran dikatakan efektif apabila pembelajaran tersebut dapat mendorong siswa untuk melakukan berbagai kegiatan belajar secara aktif, dan di akhir pembelajaran para siswa mampu menguasai seluruh atau sebagai besar tujuan pembelajaran yang ditetapkan, dan penguasaan pengetahuan tersebut dapat bertahan dalam waktu yang relatif lama.
Melalui seluruh proses pembelajaran di atas, diharapkan pembelajaran yang dialami siswa menjadi menyenangkan. Pembelajaran yang menyenangkan tidak identik dengan pembelajaran yang gaduh, berisik, dan tidak terkendali. Pembelajaran yang menyenangkan adalah pembelajaran yang dilakukan oleh siswa secara sukarela, tanpa ada unsur paksaan dari luar; siswa melakukan aktifitasnya dengan hati yang senang dan tidak terkekan. Pembelajaran yang menyenangkan akan terjadi apabila situasi pembelajaran terbuka, demokratis, dan menantang. Para siswa memiliki kesempatan untuk melakukan berbagai aktifitas tanpa harus takut salah dan dimarahi oleh siapapun. Melalui pembelajaran yang menyenangkan, siswa akan dapat mencurahkan perhatiannya secara penuh pada belajar sehingga waktu curah perhatiannya (time on task) tinggi. Menurut berbagai hasil penelitian, tingginya time on task terbukti meningkatkan hasil belajar.
Untuk dapat mengenali pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan dapat mencermati ciri-cirinya sebagaimana dikemukakan oleh Lynne Hill, yaitu:
a. Pembelajaran tersebut direncanakan dengan baik, yang didasarkan pada hasil identifikasi tujuan dan kemampuan awal siswa, dan mencakup urutan pembelajaran, pengorganisasian kelas, pengelolaan sumber belajar, dan cara penilaian yang akan digunakan.
b. Pembelajaran tersebut menarik dan menantang yang ditandai oleh peran guru yang tidak terlalu dominan, sementara siswa aktif melakukan aktifitas belajar. Pembelajaran juga dapat meningkatkan motivasi belajar, meningkatkan kemampuan berpikir kritis, memecahkan masalah, termasuk tugas-tugas terbuka.
c. Siswa sebagai pusat pembelajaran, yang ditandai oleh adanya tuntutan agar siswa aktif terlibat, berpartisipasi, bekerja, berinteraksi antarsiswa, menemukan dan memecahkan masalah (www.mbeproject.net/mbe511.html)
F. Kesimpulan
Peningkatan kualitas sumber daya manusia haruslah menjadi prioritas dalam pembangunan nasional kita. Itu berarti pembangunan dunia pendidikan harus mendapatkan perhatian yang serius, komitmen yang kuat dan tindakan nyata dari seluruh stakeholder. Pembangunan dunia pendidikan memang harus dilakukan secara sistemik, melalui pembenahan berbagai sektor yang terkait. Khusus untuk pembangunan pendidikan formal (sekolah), semua perbaikan yang dilakukan harus mengarah dan mendukung pada peningkatan kualitas proses pembelajaran yang dilakukan di ”kelas”. Karena inti dari proses pendidikan di sekolah ada pada proses pembelajaran.
Kualitas proses pembelajaran sangat dipengaruhi oleh kualitas interaksi antara siswa dengan sumber belajar. Artinya kualitas pembelajaran dikatakan baik apabila para siswanya secara aktif melakukan berbagai kegiatan untuk mengembangkan dirinya secara utuh (kognitif, afektif, dan psikomotorik) melalui interaksinya dengan berbagai sumber belajar. Untuk dapat terjadi seperti itu perlu diciptakan lingkungan dan suasana belajar yang mendukung, yaitu lingkungan yang mendorong anak untuk melakukan eksplorasi pada lingkungannya; memberi kesempatan kepada siswa untuk berpikir secara divergen, kritis, kreatif, dan inovatif; dan melatih anak untuk bekerja secara kooperatif dan kolaboratif; Salah satu model pembelajaran yang mampu mendorong itu semua adalah apa yang disebut PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan).
Demikian beberapa pokok pikiran yang dapat penulis sampaikan. Mudah-mudahan ada manfaatnya, dan mohon maaf atas segala kekurangan. Terima kasih.
DAFTAR RUJUKAN
http://www.texascollaborative.org./what is Contextual Teaching and Learning.html
http://www.mbeproject.net/mbe511.html
http://edu-articles.com/pakem-2/
http://ilmusains.com/pakem.html
http://hilda08.wordpress.com/filsafat-ilmu_ontologi-pengetahuan/
http://en.wikipedia.org/wiki/Waterfall_model
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0308/13/dikbud/488911.htm,
http://groups.yahoo.com/group/pakguruonline/message/1735
http:www.depdiknas.go.id/Jurnal
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/03/00594729
http://diknas.malangkota.go.id/e-learning/mod/forum/discuss.php?d=11,
http://re-searchengines.com/linda6-07.html
http://www.depdiknas.go.id/serba_serbi/Renstra/bab-IV.htm, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0502/28/Didaktika/1579467.htm,
http://abdullahfaqih.multiply.com/journal/ item/5,
Komentar