Senin, 16 April 2012

PERLUNYA PERUBAHAN PARADIGMA TENTANG MENGAJAR

(Oleh : Kepler Pasaribu, SE. Widyaiswara P4TK Medan)
Apakah mengajar sebagai proses menanamkan pengetahuan dalam abad teknologi sekarang ini masih berlaku?. Bagaimana seandainya pengajar (guru) tidak berhasil menanamkan pengetahuan kepada orang yang diajarnya masih juga dianggap orang tersebut telah mengajar? Lalu, kalau begitu apa criteria keberhasilan mengajar? Apakah mengajar hanya ditentukan oleh seberapa besar pengetahuan yang telah disampaikan?. Pandangan mengajar yang hanya sebatas menyampaikan ilmu pengetahuan itu, dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan. Mengapa demikian? Minimal ada tiga alasan penting. Alasan inilah yang kemudian menuntut perlu terjadinya perubahan paradigma mengajar, dari mengajar hanya sebatas menyampaikan materi pelajaran sebagai proses mengatur lingkungan. Pertama, siswa bukan orang dewasa dalam bentuk mini, tetapi mereka adalah organism yang sedang berkembang. Agar mereka dapat melaksanakan tugas-tugas oerkembangannya, dibutuhkan orang dewasa yang dapat mengarahkan dan membimbing mereka agar tumbuh dan berkembang secara optimal. Oleh karena itulah, kemjuan ilmu pengatahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi yang memungkinkan setiap siswa dapat dengan mudah mendapatkan informasi, tugas, dan tanggung jawab guru saja dituntut untuk lebih aktif mencari informasi yang dibutuhkan, akan tetapi ia juga harus mampu menyeleksi berbagai informasi yang dianggap perlu dan penting untuk kehidupan mereka. Guru harus menjaga siswa agar tidak terpengaruh oleh berbagai informasi yang dapat menyesatkan dan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan mereka. Karena itu kemajuan teknologi menuntut perubahan peran guru. Guru tidak lagi memosisikan diri sebagai sumber belajar yang bertugas menyampaikan informasi, tetapi harus berperan sebagai pengelola sumber belajar untuk dimanfaatkan siswa itu sendiri. Kedua, ledakan ilmu pengetahuan mengakibatkan kecenderungan setiap orang tidak mungkin dapat menguasai setiap cabang keilmuan. Begitu hebatnya perkembangan ilmu biologi, ilmu ekonomi, hokum, dan lain sebagainya. Apa yang dulu tidak pernah terbayangkan, sekarang menjadi kenyataan. Dalam bidang tekonolgi, begitu hebatnya orang menciptakan benda-benda mekanik yang bukan hanya diam, tapi bergerak bahkan bias terbang menembus angkasa luar. Demikian juga kehebatan para ahli yang bergerak dalam bidang kesehatan yang mampu mencangkok organ tubuh manusia sehingga menambah harapan hidup manusia. Semua di balik kehebatan-kehebatan itu, bersumber dari apa yang kita sebut sebagai pengetahuan. Abad pengetahuan itulah yang seharusnya menjadi dasar perubahan. Bahwa belajar, tak hanya sekadar menghafal informasi dan pengetahuan itu untuk mengasah kemampuan berpikir. Ketiga, penemuan-penemuan baru khususnya dalam bidang psikologi, mengakibatkan pemahaman baru terhadap konsep perubahantingkah laku manusia. Dewasa ini, anggapan manusia sebagai organism yang pasif yang perilakunya dapat ditentukan oleh lingkungan seperti yang dijelaskan dalam aliran behavioristik, telah banyak ditinggalkan orang. Orang sekarang lebih percaya, bahwa manusia adalah organism yang memiliki potensi seperti yang dikembangkan oleh aliran kognitif holistic. Potensi itulah yang akan menentukan perilaku manusia. Oleh karena itu proses pendidikan bukan lagi memberikan stimulus, akan tetapi usaha mengembangkan potensi yang dimiliki oleh pebelajar tersebut. Di sini, siswa tidak lagi dianggap sebagai objek, tetapi sebagai subjek belajar yang harus mencari dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Pengetahuan itu tidak diberikan, akan tetapi dibangun oleh siswa. Ketiga hal di atas, menuntut perubahan makna dalam mengajar. Mengajar jangan hanya diartikan sebagai proses menyampaian materi pembelajaran, atau memberikan stimus sebanyak-banyaknya kepada siswa, akan tetapi lebih dipandang sebagai proses mengatur lingkungan agar siswa belajar sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimilikinya. Pengaturan lingkungan adalah proses menciptakan iklim yang baik seperti penataan lingkungan, penyediaan alat dan sumber pembelajaran, dan hal-hal yang memungkinkan siswa betah dan merasa dan merasa senang belajar sehingga mereka dapat berkembang secara optimal sesuai dengan bakat, minat, dan potensi yang dimilikinya. Istilah mengajar bergeser pada istilah pembelajaran. Yanga dapat diartikan untuk mengubah perilaku siswa ke arah yang positif dan lebih baik sesuai dengan potensi dan perbedaan yang dimiliki siswa Kata “pembelajaran” adalah terjemahan dari “instruction” yang banyak dipakai dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat. Istilah ini banyak dipengaruhi oleh aliran psikologi kognitif holistic, yang menempatkan siswa sebagai sumber dari kegiatan. Selain itu, istilah ini juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang diasumsikan dapat mempermudah siswa mempelajari segala sesuatu lewat berbagai macam media, seperti bahan-bahan cetak, program televise,gambar, audio, dan lain sebagainya, sehingga semua itu mendorong terjadinya perubahan peranan guru dalam mengelola proses belajar mengajar, dari guru sebagai sumber belajar menjadi guru sebagai fasilitator dalam belajar mengajar. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Gagne (1992: 3), yang menyatakan bahwa, “Instruction is a set of event that effect learners in such a way that learning is facilitated.”Oleh karena itu menurut Gagne, mengajar atau teaching merupakan bagian dari pembelajaran (instruction), di mana peran guru lebih ditekankan kepada bagaimana merancang atau mengaransemen berbagai sumber dan fasilitas yang tersedia untuk digunakan atau dimanfaatkan siswa dalam mempelajari sesuatu. Lebih lengkap Gagne menyatakan” Why do we speak of instruction rather than teaching? It is because we wish to describe all of the events that may have a direct effect on the learning of a human being, not just those set in motion by individual by a page of print, by a picture, by a television program, or by combination of physical objects, among other things. Of course, a teacher may play an essential role in the arrangement of any of these events” (Gagne, 1992: 3). Dalam istilah “pembelajaran’ yang lebih dipengaruhi oleh perkembangan hasil-hasil teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan belajar, siswa diposisikan sebagai subjek belajar yang memegang peranan yang utama, sehingga dalam setting proses belajar mengajar siswa dituntut beraktivitas secara penuh, bahkan secara individual mempelajari bahan pelajaran. Dengan demikian, kalau dalam istilah “mengajar (pengajar)” atau “teaching” menempatkan guru sebagai “pemeran utama” memberikan informasi, maka dalam “instruction” guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator, memanage berbagai sumber dan fasilitas untuk dipelajar siswa. DAFTAR PUSTAKA 1.Gagne, Robert M. dan Briggs, Leslie J. (1979) Principles of Instructional Design. New York: Holt Rinehart & Winston 2.Sanjaya, Wina (2006). Strategi Pembelajaran Berorientasi Proses Pendidikan. Bandung: San Grafika.